Nora NH, Penyair Perempuan dari Sampang

Kamis, 07 Mei 2020


Mencari penyair perempuan di Madura ini memang tak sesulit mencari selembar jerami di tumpukan jutaan jarum. Namun faktanya, popularitasnya tak setenar para penyair pria yang bahkan sudah terlihat go internasional. Tapi satu hal yang perlu digaris-bawahi, tak terlihat bukan berarti tak ada.

Nora NH merupakan salah satu dari sekian penyair berdarah Madura yang tak terlihat ketenarannya. Ya, aktivitasnya sebagai mahasiswi sekaligus guru sukwan justru hampir menutupi kepiawaiannya mengolah kata-kata sebagai bahan tulisan.

Nora NH merupakan nama pena dari Nur Hasanah, gadis kelahiran Sampang 27 Desember 1993. Panggilan Nora memang lebih dikenal ketimbang nama aslinya. Meski begitu, agar tetap ada, ia pasang NH di belakang nama Nora. “Ya, saya tidak ingin menghilangkan nama yang telah diberikan keluarga saya. Bagi saya nama beken itu tetap tak bisa menggantikan nama asli,” alasan dara manis itu, pekan kedua Juni lalu.

Suka menulis dan penjadi penulis bukanlah suatu kebetulan. Nora mengakui jika menjadi penulis adalah cita-citanya, selain juga ingin menjadi seorang guru. Untuk itu, sejak duduk di bangku SMA, Nora sering mengikuti berbagai lomba tingkat kecamatan. Seperti lomba pidato, menulis puisi sekaligus membacakannya. “Alhamdulilah setiap mengikuti event itu selalu meraih juara,” akunya, bangga.

Bagi Nora, menulis adalah cara termudah mengurai gejolak jiwa yang tersirat. Menulis juga merupakan tempat menuangkan pikiran, wawasan, pengalaman, dan lain sebagainya. Menulis juga merupakan aset penting yang dapat selalu dikembangkan sepanjang masa.

Buah manis mulai dikecapnya.Ia terpilih sebagai Kontributor Favorit dalam menulis puisi di SABANA PUSTAKA, Surakarta, 1 Agustus 2016. Selain itu dia juga pernah masuk dalam kategori 50 Penulis Terbaik, saat mengikuti event menulis antologi puisi yang diadakan oleh Media Penulis of Indonesia¬, di Bogor, 10 Agustus 2016. Saat ini, ia ikut serta membangun komunitas pencinta sastra, Komunitas Tegghal, bersama teman-teman kampusnya di STKIP PGRI Sampang.

“Bukan fisik dan penampilan, tapi motto, kualitas dan karya yang membuat seseorang dianggap ada. Dan yang terpenting tetaplah menjadi diri sendiri. Sehebat apapun kita, akidah dan akhlak di atas segalanya,” pesannya.(kirom/farhan/matamadura)

Seterusnya.. | komentar

"Angin Dan Arah Cinta"
Bicara 'Kemungkinan' Penyair Perempuan Madura


Oleh: Shiny.ane (el'poesya)

Kita semua mungkin sudah tidak asing lagi ketika mendengar bahwa tanah Madura adalah salah satu tanah yang telah melahirkan (bahkan tidak hanya sekedar melahirkan, tetapi juga memproduksi) sejumlah penyair bagi berjalannya tradisi kesusastraan Indonesia. Bahkan hingga ada sebuah joke kecil yang mengatakan demikian, “orang Madura, kalau bukan dia berprofesi sebagai seorang penjual sate, pebisnis besi, ya dia pasti adalah merupakan seorang cendekiawan bagi bangsanya.” Dan kita juga tahu, dua wujud kecendikiawanan orang-orang Madura itu selain sebagai seorang “kiyai”, ya sebagai seorang “penyair.”

Tetapi terlepas dari “mitifikasi” (di sini penulis sengaja menggunakan kata mitifikasi ketimbang kata stereotipe) yang muncul demikian, kita sebenarnya masih dapat untuk bertanya-tanya, mengapa justru di tengah-tengah “kebanggaan” tersebut, kita malah sulit menemukan daftar cendekiawan–atau dalam kontkes ini penyair, yang merupakan perwakilan dari seorang perempuan; ketimbang kecenderungan yang bisa kita temukan terhadap daftar nama sosok lelaki di sana. Sehingga, misalnya jika kita menilik sebuah situs daring yang di dalamnya berusaha mencoba mendaftar dan mengarsipkan sejumlah penyair asal tanah garam ini (cek laman web http://www.arsippenyairmadura.com/), kita hanya akan menemukan lagi-lagi, “melulu” lelaki.

Nah, pertanyaannya adalah, ada apa dengan perempuan-perempuan Madura? Atau, mungkin lebih tepatnya, bagaimana struktur masyarakat Madura menempatkan sosok perempuan dalam setting kebudayaan masyarakatnya? Tetapi sebentar, rangkaian pertanyaan itu tak perlu kita jawab di sini. Sebab itu (mungkin) tugas kalangan “feminis”, atau para ahli/pengkaji kritik budaya dan ideologi, atau mungkin merupakan bagian dari pekerjaan rumah para perempuan Madura itu sendiri. [?]

****

Dalam situs Arsip Penyair Madura, pada tagar penyair tahun kelahiran 1925-1944, (tentunya) kita menemukan nama besar Abdul hadi W.M. dan penyair “nyentrik” Zawawi Imron di sana, yang kemudian di susul oleh nama Syarifudin Dea, tetapi tidak disusul oleh nama dari seorang perempuan. Pada tagar penyair kelahiran 1945-1964, kita baru menemukan sosok penyair perempuan yang diwakilkan oleh Weni Suryandari, melengkapi nama-nama seperti Jamal D. Rahman, Ahmad Nurullah, Syaf Anton, Harkoni Madura, dan Hidayat Raharja. Pada tahun kelahiran 1965-1984, kita kembali tidak menemukan nama seorang perempuan di sana. Pada tahun kelahiran 1985-2005, lebih dari seratus pernyair “muda” asal madura terpampang tetapi hanya terdapat tidak lebih dari 3 nama: Yuni Kartika Sari (1993), Nurul Ilmi Elbanna (1993), Salama Elmie (1993); Bahkan nama Nacita Salsabila (Sumenep, 1992) yang akan jadi pembahasan di sini dan sempat menerbitkan antologi tunggalnya pada akhir tahun 2015 tidak “saya dapati” di sana.

Di sisi lain, pada akhir tahun 2016, beberapa waktu yang lalu, kita mendengar adanya sebuah penerbitan buku antologi puisi yang bertajuk Perempuan Laut yang memuat di dalamnya 10 (saja) daftar penyair perempuan asal Madura–lintas generasi yang empat di antaranya sudah disebutkan di atas (Weni Suryandari, Yuni Kartika Sari, Nurul Imi Elbanna, Salama Elmie), kemudian Maftuhah Jakfar, Juwairiyah Mawardy, Nay Juireng Dyah Jatiningrat, Linda autaharu, Nok Ir, Tika Suhartatik, dan Benazir Nafilah. Artinya kita hanya medapatkan 7 nama perempuan tambahan sebagai representasi dari “penyair perempuan” Madura yang, lagi-lagi nama Nacita Salsabila tak terdapat di sana; Padahal pada akhir tahun 2015 yang lalu, Nacita Salsabila menerbitkan bukunya pada sebuah terbitan yang sedang “naik daun”, Ganding Pustaka, milik Raedu Basha seorang calon kritikus muda, dan dalam antologinya tersebut dipengantari oleh Narudi Pituin yang juga sejauh ini dikenal giat mengkritisi (aspek linguistik) banyak penyair pemula tak terkecuali penyair-penyair senior. Aneh bukan?

Atau jangan-jangan memang benar, menjadi “penyair”, itu hal yang berbeda dengan kegemaran seseorang dalam menggubah sejumlah puisi dalam masa hidup yang kita semua punya; Mennggubah puisi, berarti merupakan aktivitas kesubliman yang hanya berurusan dengan dunia personal-kreatif pelakuknya, sedangkan menjadi penyair, berarti turut serta (artinya setia) pada hukum-hukum komunitas dan masyarakat dalam membangun legitimasi atas kerja-kerja budaya yang telah dilakukan tersebut [?]; Kesusastraan dan diskursus mengenai “yang kanon”. Lantas, jikalau demikian, bagaimana kemudian nasib dari mereka yang luput?

Jangan-jangan … sebenarnya kita sudah punya stok yang cukup banyak penyair perempuan Madura, sehingga kita bisa begitu mudah untuk “abai” dan kurang peduli, padahal seharusnya kita melakukan berbagai penelitan atasnya. Masihkah?

****

Setiap penyair selalu memiliki kecenderungan dalam menulis puisi-puisinya. Seperti pada kesempatan sebelumnya, pada tulisan yang berjudul Sisa Cium Di Taman, Sisa Cium Di Alun-Alun, penulis menemukan kecenderungan model penulisan “romantik” dari Weni Suryandari yang mirip dengan kecenderungan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. di awal masa kepenyairannya. Meskipun ia menulis dengan gaya yang lebih modern (dengan enjambemennya) dan terkadang lirikal yang berbeda dengan Abdul Hadi W.M. yang lebih naratif dan seringkali metaforis ketika ia banyak menggambarkan kedekatannya dengan alam (laut). Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan bahwa pada puisi-puisi Nacita Salsabila memiliki kecenderungannya tersendiri dibandingkan misalnya puisi-puisi yang ditulis oleh perempuan Madura sezamannya: Benazir Nafilah (1988), Yuni Kartika Sari (1993), Nurul Ilmi Elbanna (1993), Salama Elmie (1993), dan Nay Juireng Dyah Jatiningrat (1996).

Perempuan Madura Yang Menulis Cinta I
Andai kita membaca kumpulan puisi dari kelima perempuan penyair Madura yang baru saja disebutkan namanya, baik yang tertuang dalam Arsip Penyair Madura maupun yang tertuang dalam (Arsip 10) Perempuan Laut (http://lautperempuan.blogspot.co.id/) maka kita pula akan mendapatkan kecenderungan-kecenderungan (awal) “energi kepenyairan” yang dimaksud yang patut kita cermati. Sebagai contoh:

Dari Benazir Nafilah, maka kita akan menemukan “kelirihan” seorang perempuan dalam menghadapi asam dan asin garam kehidupan (domestik) sehari-hari. Dari sana kita nampaknya juga mendengarkan lamat cinta dan spiritual Benazir muncul dari kuncup “kelihirannya” itu. Seperti pada dua puisi berikut,


PEREMPUAN DESA

Aku perempuan desa
Menyusu pada sawah
Saat matahari bertamu
Tubuh tak izinkan rebah
Meski lelah itu ada
Dibawah pohon asam
Kunikmati kecut manis hidup ini
Berharap anak cucuku akan memanen permata
Aku hanya perempuan desa
Menyusu pada sawah
Saat matahari pulang
Kuhapus keringat dan cucur air mata
Dalam sajadah semua tumpah
Malam yang menerima bayang
Dalam suara dzikir yang samar
Anak anak mengaji mesra
Bercengkrama dengan pencipta
Aku hanya perempuan desa biasa
Segalanya menjadi sederhana
Kecuali cinta kita

Sumenep, 8 Maret 2016

TELUR DADAR

Hampir tiap hari kau memakan telur
Telur yang menyatu dalam kocokan penuh cinta
Kau berucap telur ini seperti kita “kau kuningnya dan aku putihnya” sambil nyengir
Entah yang kau maksud adalah kita menyampur berbaur sampai tak ada batas bahwa aku kuning dan kau putih
Semuanya menyatu
Dan ketika telur sudah habis, kau berkata tadi sedikit asin sayang

Sumenep, 12 April 2016

TUHAN

Tuhan…
Aku juga pernah duduk bersimpuh dalam sajadahmu
Menghitung dosa yang tak pernah selesai
Dosa besar dan halus yang berhembus
Mengukus diri dalam gelisah panjang

Tuhan…
Gugur jemari dalam astaghfirullah
Tak akan mensucikan diri dalam lemak dosa
Menghapus angkara yang rebah di kepala
Mengubur kecewa di antara dada

Tuhan…
Ampuni aku sebelum dadaku dikoyak jeritan

Sumenep, 12 Oktober 2016

Kita bandingkan dengan puisi yang ditulis oleh Nacita yang “memulai” perjalanan cinta dan spiritualnya dari sesuatu yang sifatnya lebih metaforis dan abstrak yang ia ungkapkan dalam puisi berikut:

BATAS YANG TAK DIKENAL

Jika dunia ini lautan, biarkan aku dekap gelombang
Kabut-kabut menyamudra menyatu dengan tubuhku,
Dan tubuhmu bergolak oleh kerasnya karang
Sampai hujan membanjiri awan mengelukan
Namamu dalam dahsyatnya keinginan
Aku terbiar di terjalnya waktu, meratap, kian sesak
Terseret dalam batas yang tak dikenal
Bumi ataupun surga

Jika dunia dapat kutembus dengan penglihatan
Tabir-tabir kuretas, kutuliskan menjadi benang kerinduan
Menyatukan mimpi kemarin
Juga kehidupan yang kita jelang
Bumi bukan bumi
Udara pun membiru
Wujudmu dan wujudku tertimbun dalam musim tak berwaktu
Kita: makin tiada dalam fana
Tersesat di gurun tanpa nama

2015

Dari puisi yang ditulis oleh Benazir, kita melihat bagaimana pengalaman puitik muncul dari tingkat kepekaan penyairnya terhadap “alam yang kecil”, dari serpihan-serpihan yang dialaminya sebagai sesuatu yang romantik (baca: banyak melibatkan unsur perasaan antar lawan jenis, juga seiring kedekatannya dengan alam) dan sentimentil. Sedangkan pengalaman puitik Nacita agaknya muncul dari keterbuakaannya pada “alam yang besar” yang membuatnya berada di jalur yang lebih reflektif dan filosofis. Meskipun dalam puisi yang berjudul Ketika Aku Mencintaimu, kesan “romantis” dan sentimentil (sebagai seorang perempuan yang sedang beranjak dari keremajaannya) itu juga muncul,

KETIKA AKU MENCINTAIMU

Ketika aku mencintaimu
Sesuatu yang mungkin dan tak selalu mengepungku.
Ibarat menghitung bintang
Takkan pernah bisa mengumpulkan angka.
Kadang begitu dekat di pelupuk mata,
Tapi secepat kilat hilang tiba-tiba.
Cinta, begitu tergesa-gesa menjerat sukma.
Yang kecil jadi tiada daya,
Yang kecil jadi dewasa,
Yang pendiam suka tertawa,
Yang tak bisa menjadi bisa.
Yang tak terpikirkan menguasai perasaan,
Yang teramat sukar mampu ditaklukkan.

Ketika aku mencintaimu,
Laut bagai menyatu dengan daratan.
Segala bayangan seperti utuh dengan badan,
Hingga tak ada tabur tersembunyi
Karena rahasiamu menjadi rahasiaku.

Ketika aku mencintaimu,
Adakah kau juga mengagungkan pertemuan?
Saat mimpi jadi bandara persinggahan,
Siang menjadi malam, malam pun berlalu di titik khayal.

Ketika aku mencintaimu,
Tak ada lagi yang perlu kujelaskan.

Madura, 27/09/2015

Andai kita menggunakan periodisasi kepenyairan milik Abdul hadi W.M., maka watak kepenyairan Benazir dimulai sebagaimana Abdul Hadi W.M., memulainya di tahun 60-an dan awal 70-an, sedangkan apa yang ditulis oleh Nacita lebih dekat dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M., pada tahun-tahun perkembangan setelahnya, tahun 70 pertengahan hingga tahun 80-an. Atau mungkin, arah “cinta” dan “spiritual” Benazir, secara kreatif, lebih seiris dengan puisi-puisi yang ditulis oleh Zawawi Imron dan-atau Taufik Ismail sepanjang masa kepenyairannya.
Mari kita bandingkan sekali lagi puisi Banazir dan Nacita, ketika mereka mencoba menulis puisi “teoritik”nya:

PENYAIR GAGAL
Oleh: Benazir

Meski jalan tampak ada
Rasanya tubuhku hilang ditelan sunyi
Nafas ugal sesegukan dalam jantung yang kembang kepis

Meski wajahmu kutemukan berulang
Melipat diri dalam bisu aksara
Aku masih bisa mendengar nafasmu merintih rindu dalam namaku
Aku yakin kau bertasbih aku
Meski bukan hanya namaku

Apa ini kutukan?
Atau hanya rindu yang membeku
Aku bukan perayu
Aku hanya membuatmu candu
Apa salah itu selalu aku?

Rasanya aku telah menjadi penyair gagal
Sebab aku telah menjadi penyihir dalam hidupmu
Mungkinkah aku mengutukmu untuk cintaiku?
Aku tak bermaksud itu

Sumenep, 7 Maret 2016

TEORI CINTA
Oleh: Nacita

Mari bermain, Sayang!
Kita siapkan metode pertandingan
Yang ter-ramu dari rasa dan keinginan
Membaca tubuh, juga pikiran
Masihkan tersembunyi kelalaian dari rindu dan bimbang?

Kita berteka-teki, Sayang!
Seperti barisan kata, silang-menyilang
Bukankah ada tanjakan pun jalan mendatar?
Itu teori: simbol dari keteguhan hati

Lepaskan gairahmu, Sayang!
Biarkan mengembara hingga batas pertarungan rasa
Banyak celah jadi jeram, juga sisi yang bertautan
Tidakkah itu keindahan; lahirnya senyuman

Rebahkan ambisimu, Sayang!
Biarkan nyenyak dalam mimpi panjang
Keheningan akan mengajarkan cinta dan pengorbanan
Tanpa syarat juga jaminan

Madura, 26/08/2015

Dari dua puisi di atas kita bisa melihat bagaimana Nacita lebih “maju” paling tidak selangkah ketimbang Benazir dalam mengembangkan puisi mengenai “Cinta” sekaligus pada konsep mengenai “kepenyairan”. Di mana ketika dalam puisi Penyair Gagal, Benazir seakan hendak menggambarkan konsep mengenai “cinta yang ideal” melalui pengalaman-pengalaman “kebertubuhan” yang masih ia tempatkan dalam ide-ide yang begitu tetap membingungkan; serta melalui dikotomisasi antara konsep “penyair dan penyihir” di mana ia mencoba meretrospeksi konsep kepenyairan dan pengalaman pribadinya sebagai seorang yang “kurang” mampu menggunakan kata-kata secara proporsional, tetapi Nacita, telah menggunakan gaya “permainan bahasa” (Wittgenstein) dalam menjelaskan kedua konsep cinta dan kepenyairaannya sekaligus. Ini menunjukkan bagaimana Nacita dalam konteks demonstratif tertentu ia kembali mampu memberikan “penjarakan” reflektif atas subjek yang hendak ia sampaikan: “Mari bermain, Sayang!/ Kita siapkan metode pertandingan/ … Kita berteka-teki, Sayang!/ Seperti barisan kata, silang-menyilang/…”

Perempuan Madura Yang Menulis Cinta II

Boleh dikatakan Yuni Kartika Sari, Nurul Ilmi Elbanna, Salama Elmie, adalah tiga penyair perempuan Madura yang benar-benar seusia dengan Nacita dalam tahun-tahun kelahirannya (1992-1993). Perbedaannya, baik Yunita Kartika Sari, Nurul Ilmi Elbanna dan Salama Elmie, nampaknya mereka tengah “rajin” mengirimkan puisi-puisi mereka ke media cetak, sedangkan (paling tidak) sepengetahuan penulis Nacita lebih menempatkan kerja-kerja kreatifnya di tengah-tengah audiens yang berkumpul secara realtime di media-media sosial, seperti pada beberapa grup Sastra di Facebook. Sedang umtuk mendapatkan perbedaan lainnya, maka alangkah baiknya kita kembali menyertakan masing-masing sampel dari setiapnya sebelum membicarakannya lebih lanjut;

Yunita Kartika Sari:

LENGKING PERMEN PLUIT

yang terkenang darimu

: bunyi permen peluit
ketika kududuk di komedi putar
yang sama bundar
bola matamu hidup yang lingkar.

sayang, lengkingnya tak sempat
kujamah dengan benar
menguap di gendang telinga
dini. sebelum manis
larut dalam kabut, keningmu.

dari permen peluit itu
ada yang jauh melengking
di hatimu.

2013

BALON MARIA

yang datang dari celah-celah pulang
yang terkadang tak bisa diterka akal
: balon maria yang meletuskan isa
di rahimnya.

2014-2016

Nurul Ilmi Elbanna:
MAZMUR MALAM HARI

apa yang dirasakan api
ketika harus membakar dirinya sendiri?
barangkali hanya kepasrahan
seperti juga bebintang yang tak pernah tahu
untuk apa ia terasingkan di langit.

dalam bulan telanjang
ingin kuberjalan sendirian
mencari di mana Engkau bersedia
membuka pintu
untukku

jangan biarkan aku terbakar api
atau terasingkan di langit
sebelum tahu labirin mana tempat berpulang

Dunia Kecil, 24-02-14

BERJALAN KE ARAH GELAP

dalam dirimu hidup satu perempuan yang tak kukenal
bahkan aku tak pernah berjumpa dengannya di dalam hatimu
ia pandai bersembunyi
dan engkau selalu menganggapnya telah mati
tetapi aku tahu ia tak lelah berusaha
membatalkan rencana yang telah kita sepakati

saat kau habiskan waktu bersamaku
di kedalaman lautmu, ia diam-diam membangun istana surga
dan menutup seribu pintunya untukku
di taman kecil kita,
ketika pagi menjatuhkan matahari ke dalam gelas kopi
kita menyeduh sampai candu
rindu yang menggumpai berlepasan dari tubuh serupa debu

kita segera menyatu, kalau perempuan itu tak datang
dari rimbun mawar berduri
ia melangkah gontai meminta dikasihani
perempuan itu,
kini aku tahu.

dia yang sering lewat dalam buku puisimu
pernah kau tulis namanya dalam batu pualam yang hilang
sering bersanding dengan rembulan
pada langitmu yang kini tetap biru; utuh

pada perempuan itu, aku menemukan namamu
selalu berloncatan di antara rumbai rambutnya
perempuan yang menurutmu telah mati

di dalam hatimu, akulah yang selalu datang dan pergi
menyeduh kopi atau meerenungi puisi
rebah dan beristirahat
juga berlari dari sunyi api

semenjak perempuan itu tak kujumpai
debu tak henti mengotori
malam-malam kita jadi gelap
denyar lampu mulai lamur, padahal kita tak pernah alpa
mensucikan cinta yang karat usia.

Dunia Kecil, 01-08-14

Salama Elmie:
DI RUANG PUISI

Di kota ini aku merapatkan segala genggaman
dari getar gemuruh para pahlawan
dari banyak kata yang tak usai kujelajahi

Di kota belantara aku terus berjalan
menata kata dan menata hidup dalam kehidupan

Aku kembali membaca bentuk-bentuk luka
menebar segala cahaya dan rasa
di atas dingding setiap asa
dari jejak buku yang terus aku baca
menuju perkampungan cahaya

Kos Bali, 2014

PENGADUAN

Matamu mulai nanar dengan sepi
mengajakku mengembara
rindu yang mengendap di ruang dada
dari kata yang mulai menyisahkan luka

Sementara tak kutemukan apa-apa
kecuali tubuh sepi yang mati

Pada malam aku mengadu
pada sepi aku bertemu
pada jejak aku meminta waktu untuk setia
pada perjumpaan di satu titik yang bernama rahasia

Jogja “UIN SuKa”, 2014

Nacita Salsabila:
CINTA MATI

Tuhan, senyumku terukir di bibirnya
Mataku mendekam di matanya
Wajahku dalam wajahnya
Aku mencintainmya

Tapi, ia matahari langit
Aku hanya embun gugur di daun
Menanti sejuk belaian fajar
Yang tertatih membendung angin
Menuju-Mu

Tuhan, aku mohon!
Lepaskan saat wujudnya mewujud diriku
Mengerangkeng jiwaku
Tercekik
Tersisa napas satu-satu
Lungai dalam dekapan rindu

Madura, 2015

SUARA SUNYI

Di kamar ini, sedih selalu tak bisa kita bagi rata:
Matamu baru berkaca-kaca,
Mataku telah meneteskannya
Segalanya (mungkin) sudah terlambat,
Saat kuputuskan mencintai yang mencintaimu
Di jalan itu, sejauh kau menoleh, tak ada siapa-siapa

Dalam kamar ini, saat lampu mati,
Segalanya akan nampak hilang, kecuali engkau–
Dalam diriku yang terang
Hanya gerimis tipis
Serupa tangis

Madura, 24/09.2015

Membaca dua–dua–dua–dua puisi di atas, (para pembaca) sejarah kesusastraan Madura layaklah untuk berbahagia, dan percaya untuk memberikan tepukan hangat kepada keempat bahu perempuan-perempuan ini. Bagaimana tidak, dari keempat perempuan ini, kita tidak dibawa kepada masa depan kesusasteraan yang “gelap”, meskipun (mungkin oleh banyak penyair senior–lelaki Madura) mereka bisa jadi masih dianggap sebagai “pemain baru” dalam kesusastraan Madura, atau lebih jauh kesusasteraan Indonesia. Dalam puisi-puisi di atas, kita bisa melihat bagaimana “pendar-pendar” model perpuisian penyair kawakan bisa tercermin dengan kuat dalam wujudnya yang amat positif; Bukan ingin mengatakan epigon tetapi “mewujud kembali”.

Dalam puisi Lengking Permen Pluit, dan Balon Maria, milik Yunita Kartika Sari, kita melihat betapa model stilistika ala Joko Pinurbo begitu “menggoda” perut kita. Tak hanya pada bentuk permainan metaforikalnya, tetapi pada area ber”main-main”(rasa bercanda)nya yang sama-sama bergerak (hingga) pada ranah isu “teo-hermeneutis” keagamaan yang mungkin bagi sejumlah kalangan akan dianggap cukup sensitif. Dalam puisi Mazmur Malam Hari, dan Berjalan Ke Arah Gelap milik Nurul Ilmi Elbanna, kita akan benar-benar diingatkan pada gaya religio-romantik puisi-puisi Meditasi Abdul Hadi W.M., yang menengahi fase awal dan fase filosofis kepenyairannya pada tahun 70-an akhir dan tahun 80an waktu itu.


Pada dua puisi yang ditulis oleh Salama Elmie, Di Ruang Puisi, dan Pengaduan, kita menemukan bagaimana bentuk “perhatian” pada hal-hal “yang kecil” dan “yang luka”, “yang kosong,” “sepi,” “tak pasti,” sekaligus menjadikannya sebagai sesuatu “yang subtil” dengan cara “menabrak-nabrakkannya” dengan “yang kokoh” dan “yang besar”, mengingatkan penulis pada “gaya” ketebukaan eksistensial Goenawan Mohammad dalam puisi-puisinya. Sedangkan dalam puisi-puisi Nacita Salsabila, sekali lagi kita akan menemukan bagaimana ia tetap begitu setia dalam mengeksplorasi “cinta” sebagai kunci utama puisi-puisinya; pada dua puisi Cinta Mati, dan Suara Sunyi, ia mencoba bicara secara puitis mengenai konsep “wujud,” dan proses “peluruhan” diri pada yang wujud itu, sebagaimana Abdul Hadi W.M. ketika menuliskan puisi Tuhan, Kita Begitu Deka, yang sarat dengan faham filsafatnya.

Ini cukup menarik menurut saya. hemat penulis, kita melihat kecenderungan awal kepenyairan yang benar-benar memiliki energi kreatif yang sama-sama “concern” dan berjalan dalam aras “ontologis”nya masing-masing. Yang menunjukkan, bahwa tradisi perpuisian yang tengah tumbuh (jika memang mereka terus berusaha berkutat makin serius dengan puisi-puisinya, semoga …) dari rahim perempuan-prempuan tanah garam ini, tidak hanya merupakan sebuah fenomena kepenyairan belaka, tetapi awal dari sebuah khazanah intelektual yang baru, dan tentunya tidak “lagi-lagi” mengenai lelaki. Sebab, sebagaimana diungkap Nacita dalam puisinya Ketika Aku Mencintaimu: “Ketika aku mencintaimu,/ Laut bagai menyatu dengan daratan./ Segala bayangan seperti utuh dengan badan,/ Hingga tak ada tabir tersembunyi/ karena rahasiamu menjadi rahasiaku./” Artinya, perempuanpun, pada dasarnya menggenggam mata “Angin dan Arah Cinta” yang sama.

Perempuan Madura Yang Menulis Cinta III

Barangkali setiap penyair memang menulis tentang cinta. Memang benar. Terlebih berbagai definisi tentang cinta telah banyak diturunkan dari begitu panjang ekspresi kemanusiaan yang telah berjalan jutaan tahun. Ada yang mengatakan, bahwa cinta adalah perasaan yang berhubungan dengan keinginan untuk saling berbagi antar satu sama lain, sebuah perasaan untuk terus “menyatu”, atau sebuah “gairah” akan dan mengenai sesuatu, atau bahkan sebuah energi kreatif dan kemanusiaan itu sendiri. Cinta amat begitu universal sekaligus begitu ragam. Sebagai contoh, misalnya pada puisi milik Nay Juireng DJ (yang mungkin dalam batas-konteks pembahasan kali ini merupakan “Perempuan Laut” yang paling bungsu–kelahiran 1996), yang mengekspresikan perasaan-perasaan “cinta” kepada Ibundanya dengan gaya yang ekperimental,

MERINDUKANMU IBU ADALAH ISAK YANG KERAP

Fabiayyialaairobbikumatukaddzibaan..

Ibu’..
Rabalah dadaku
Episode ke episode
Menderu keras di dalamnya.
Sebagai denyut yang tak berhenti
Sebagai lampu yang tak padam
Dan lilin yang membakar
.
Aku ingin berenang pada air matamu yang menderas bu’…
.
Aku ingin menciummu
Hingga tak
Ku temukan riwayat rumit manusia.
.
Ingin aku tabur benih,
tanam tunas.
Merawat pohon-pohon,
Dan menulis sejarah, bercerita bahwa cinta ini adalah dirimu
.
Bu’….
Adalah ketidakadaan yang tak akan menjadi ada
Bila keluhku di rantau masih beradukan hening..
KERUH RINDU, RINDU BERKEPANJANGAN
Ibu, hal yang masih terngiyang dalam hidupku
Adalah ketika aku mengingat kisah salah satu sahabat yang mendatangi rasulullah
Laludenganlirihsahabatitubertanya

“Wahai Rasulullah Siapakah Yang Wajib Saya Hormati?”
Maka Rasulullah Menjawab “Ibumu”
“Siapa Lagi Ya Rasulullah?”
Rasulullah Masih Menjawab “Ibumu”.
Dan Sahabat Masih Bertanya “Siapa Lagi Ya Rosulullah?”
Pun Rosulullah Menjawab “Ibumu, Lalu Bapakmu”

Aku tidak tahu wujud Malaikat
Tapi aku tahu dirimu; bu
Malaikat yang jelas tampak di depan mata
Malaikat yang tak bersayap namun memikul beban
Malaikat yang menyimpan garis-garis bahagia
Pada garis keruh keningmu
Dan luka-luka pada telapak kakimu

Ibu, kepulanganku mungkin terlambat, bukan berarti jauh dari rindu, bu..
Tapi ini adalah luap luas ratapan hati…
Bahwa kita akan bahagia…
Ibu….

Aku sudah dewasa, sudah lupa bagaimana cara minta gendong dengan manja,
Sedang, jarak adalah kerinduan yang tak memiliki tafsir lain selain kejam. Perantauanku kali ini, bukan untuk menjauh dari bahagia bersamamu, bukan untuk menghindar dari senyum dan pelukmu, tapi, ini untuk kita, bu….. Bahwa kita akan bahagia..

Dada ini kerontang bu’…. Menekan kerinduan yang mendalam, kerinduan yang mencekam, hingga jari-jari adalah sangsainya fisik yang terkikis tajam.

Aku rindu padamu bu,…
Maafkan aku masih menyimpan waktu dengan jarak yang tersembunyi

Malang 2014

Terlebih kesan eksperimental yang lebih mencolok pada puisi berikut,

LELAKIKU

Bar…
Alif layyin tubuhmu lentur
Seolah-olah pantai malam dimalamku
Bisik-bisik nafasmu membinarkanku
Menarik-narik mataku disuhu-suhu waktu
Lagi-lagi desah ombak
Keruh otakku
Bising tubuhku
Hingga jagat adalah tubuhmu cahaya mataku
Kau selalu disini
Tidur dan mencari
Seperti luas taman bunga dengan lari-lari anginnya

Bar……….

Alif layyin tubuh airmu membilasku
Berilahs akal dahiku
Sambunglah huruf didadaku
Atau kau gigit bahuku
Dan lilittubuhku dengan hasratmu
Suaramu, bibirselembutbulan
Membuatku sah, sih, suh
Aku peluh dikeras siang
Aku darah dilembu tmalam
Oleh muaku cakar dengan jari-jari rindu
“kita hening, kita sebab, kita adalah isyarat angin, meluruh dada dan segala rasa”

Dan betapa berpelanginya puisi ekperimental Nay Juireng DJ ketika ia menulis sajak cinta kepada (mungkin) sesama remaja seusianya; penuh dengan fantasi, seperti “rancauan” si mungil Alice dari wondeland,

Halaman Kosong

Disini ada halaman kosong sebab merindumu.
kala-kala-waktu-waktu, masa depanpun berlalu
dan aku masih menyimpan larik sajak pada halaman itu
soal waktu
soal aku
pada larik sajak dari sebuah halaman,
ada serupa waktu memintaku berlari
ada hal-hal pada puisi
ada bersikuku menghampiri
ada ruas berkepanjangan
ada santun senyum
ada pelabuhan dermaga
ada aku yang berwaktu lugu

kala-kala-waktu-waktu, masa depanpun berlalu
suara karat, lambat, berkerusuhan parau
waktu berlalu
irama-keirama menghimpit bulu kecil di keningmu.
lalu waktu berlalu

kala-kala-waktu-waktu, masa depanpun berlalu
aku kuas melukis biru
aku gunung berapi tinggi, aku air dikepung mata-mata
kereta itu menjemputku mengajak menari di stasiun kota
lalu berbisik kala-kala-waktu-waktu, masa depanpun berlalu bangun tengah malam lebih indah dari kisah Cinderella
kereta itu menyeret dan memaksaku menghitung panjang lorong tajam.
kemudian bersuara lirih di telingaku
kecewalah sayang biarkan rasamu berkepanjangan tahun bersamaku
kebanggaan dan kesedihan.
kecewalah sayang biarkan rasamu menikam
kebahagiaan dan kesedihan.
kala-kala-waktu-waktu aku pun berlalu.

(Malang 2016)

Tetapi justru dari situlah terkadang mengapa kita menjadi sulit “menentukan” subjek mana untuk mengkaji mengenai “cinta” secara khusus dan melakukan diskursus atasnya; ketika dituntut untuk meraih setiap objek yang menyinggung mengenainya. Dalam keuniversalannya, perasaan-perasaan kemanusiaan yang seringkali disebutkan (atau), diungkapkan sebagai cinta oleh banyak pihak itu, pada akhirnya secara epistemologis kita akan dihadapkan pada kondisi di mana kita akan memilih pada apa subjek-subjek yang memang secara eksplisit memenuhkan suaranya bagi “nomotetikal cinta” itu sendiri: Puisi cinta tanpa titik, yang menjadi manisfestasi ontologis daya kreatif penyairnya.


Bertanyalah pada rasa, lalu katakan akulah belulang,
Pemangsa keindahan
Pengisap darah

Jika setelah semua itu aku tetap suci dalam doa,
Itulah cinta.
Bawa aku dalam kepastian-Nya,
Ikrarkan aku sebagai keabadian,
Sejati dalam satu tarikan napas.

Madura, 25/09/2015. ITU CINTA, Nacita Salsabila.

Seterusnya.. | komentar

Adakah Kau Selalu Mesra dan Aku Bagimu Indah?

Kamis, 18 April 2019

Perempuan Dibalik Kehidupan Chairil Anwar


Chairil Anwar dan istrinya, Hapsah Wiriaredja. (foto: google image)

Sumirat atau biasa dipanggil Mirat belajar melukis kepada S. Sudjojono dan Affandi. Sekali waktu ia dan keluarganya vakansi ke pantai di Cilingcing. Di sana, ia melihat Chairil. Pemuda itu tengah duduk bersandar di sebatang pohon sambil membaca buku tebal.

“Mula-mula tiada menjadi perhatianku, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatku heran. Aneh, pikirku, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya,” ujar Mirat kepada Purnawan Tjondronagoro.

Sikap Chairil yang tak peduli ternyata memikat hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan Chairil. Terutama membayangkan apa yang tengah bermain dalam angan pemuda itu. Saat ia melukis, wajah Chairil kembali muncul di benaknya.

Sekali waktu, tak lama setelah ia melihat Chairil di pantai, saudaranya datang memberi kabar bahwa pemuda yang menjerat hati Sumirat terkena masalah: dituduh mencuri! Karena ingat akan Sumirat, akhirnya Chairil ditebus oleh saudaranya itu. Si penyair terbebas dari hukuman.

Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977) menulis bahwa ia tahu kasus tersebut dari ibunya Chairil.

“Chairil Anwar mencuri sebuah seperai yang terjemur di halaman rumah orang dan ketahuan oleh yang empunya, sehingga ia diadukan kepada polisi dan ditahan. Ibunya kehilangan akal dan minta bantuan kami,” tulisnya.

Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya kemudian patungan uang seharga seprai yang dicuri Chairil. Salah seorang dari mereka juga mendekati pegawai pengadilan dan mengatakan bahwa pesakitan itu adalah seorang penyair muda yang sangat berbakat dan penting kedudukannya dalam masyarakat. Usaha mereka berhasil, Chairil bebas.

Rupanya orang pegawai pengadilan itu adalah saudaranya Mirat. Dasar Chairil, setelah ditolong, ia jatuh hati pada Mirat. Gayung bersambut.

“Dan dibawanya tumpukan kertasnya yang berisi hasil karya sastranya. Kami berdiskusi, sulit untuk mengalahkan atau membelokkan kemauannya. Dia seorang yang terlampau yakin kepada dirinya sendiri, tegas dan berani. Kukagumi dirinya sepenuh hatiku,” ujar Mirat.

Karena pengangguran, kisah cinta mereka merepotkan keluarga Mirat. Chairil nekad dengan mengikuti kekasihnya itu sampai tinggal berhari-hari di rumah orangtuanya di Jawa Tengah. Orang rumah tidak menyukai Chairil, tapi mereka tak dapat mengusirnya, sehingga mereka meminta bantuan Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan untuk membujuk Chairil meninggalkan rumah dan menjauhi Mirat.

Seperti pada perempuan-perempuan yang lain, Mirat pun tak lepas dari sajak Chairil. Sajak pertama buat Mirat ditulis pada 18 Januari 1944: “Sajak Putih”, di bawahnya tertulis “buat tunanganku Mirat”.

“…Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri/dan kuberi jiwa/segala yang dikira orang mati/di alam ini!/Kucuplah aku terus/kucuplah/dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku.”

8 Januari 1946, Chairil menulis “Dengan Mirat”. Kiranya tahun tersebut keadaan sudah semakin sulit bagi hubungan Chairil dan Mirat. Terasa ada keraguan dari bait-bait yang ditulisnya:

“…Aku dan dia hanya menjengkau/rakit hitam […] Masih berdekapankah kami/atau mengikut juga bayangan itu?”

September 1946, Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja dan punya anak, sementara Mirat telah dipersunting seorang dokter tentara. Namun, kenangan akan Mirat rupanya masih melekat dalam benak Chairil. Di tahun yang sama dengan kematiannya, Chairil masih mengingat Mirat, mengenang saat-saat mereka ketika masih dilumuri waktu luang untuk saling suka. Maka ia pun menulis “Mirat Muda, Chairil Muda”.

“Ketawa/diadukannya giginya pada mulut Chiaril;/dan bertanya:/Adakah, adakah kau selalu mesra/dan aku bagimu indah?”


Dien Tamaela Jauh di Pulau

“Beta Pattiradjawane/Yang dijaga datu-datu/Cuma satu…”

Kutipan itu adalah awal dari sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang ditulis tahun 1946. Menurut Sjumandjaja dalam Aku (1987), Chairil mengenal Dien Tamaela di studio lukis Sudjojono. Perempuan itu adalah putri dari pasangan dokter Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane.

Ibu Dien Tamaela tak setuju Chairil mendekati anaknya. Perempuan pujaan Chairil pun tak berumur panjang, Dien Tamaela meninggal pada tahun 1948. Dua tahun sebelumnya, Chairil menulis “Cintaku Jauh di Pulau”. Barangkali mengenang hubungan mereka yang buru-buru selesai karena dirintangi restu orangtua:

“Amboi!/Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama/’kan merapuh!/Mengapa ajal memanggil dulu/Sebelum sempat/berpeluk dengan cintaku?!” 

Gajah, Aku Rindu

Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada September 1946. Dari pernikahan itu lahir Evawani. Menurut anaknya, sebelum menikah dengan Chairil, ibunya tengah didekati seorang dokter. Namun, si penyair gigih melumatkan hati Hapsah sampai akhirnya berhasil ia miliki.

“Chairil memanggil Mamah itu ‘Gajah’ karena memang tinggi-besar, gendut kayak saya sekarang ini, sementara Chairil kan kecil-kurus. Mungkin, kalau dia masih hidup, saya pun akan dipanggilnya Gajah,” ujar Evawani.

Meski hanya Hapsah yang memberinya seorang buah hati, tapi hampir tak ada sebiji pun sajak buat dirinya. Hasan Aspahani yang menulis biografi Chairil berhasil menemukan sebaris sajak buat Hapsah, ditulis tangan tanpa mesin tik dan memakai pensil, berjudul “Buat H”:

“Aku berada kembali di kamar/bersama buku/seperti sebelum bersamamu dulu.”
“Tidak terbit di mana-mana. Namun, sajaknya terdapat di dalam buku kerja Chairil […] Karya-karya yang belum selesai menjelang kematiannya,” ujar Hasan.

Ia menduga sajak tersebut adalah kerinduan yang mendalam terhadap sosok istrinya.

“Dia kangen sama istrinya di hari-hari terakhir jelang kematiannya. Dia kangen pada istri dan rumahnya dulu. Dan ‘Buat H’ menurut H.B. Jassin memang buat Hapsah,” tambahnya.

Damhuri Muhammad dalam pengantar Chairl Anwar (2016) menulis bahwa menjelang kematiannya, Chairil bersemangat untuk mengumpulkan dan menerbitkan sajak-sajaknya. Ia berniat menikahi Hapsah kembali dan membesarkan anaknya.

“Ia rindu ketan srikaya bikinan Hapsah. Royalti dari buku itu ia niatkan untuk menebus kembali perkawinannya yang berantakan. Namun, saat itu pula penyakit parah menyerangnya. Hanya dalam hitungan hari, meriang yang melanda, membuat sekujur tubuhnya hampir membeku. Muntah darah tak sudah-sudah, hingga pada 28 April 1949 ajal datang merenggutnya,” tulis Damhuri.


Chairil Anwar banyak menulis sajak untuk perempuan-perempuan yang dicintainya

Sumber tulisan: https://tirto.id/para-perempuan-dalam-hidup-dan-puisi-chairil-anwar-cJUJ
- 6 Mei 2018




Tulisan bersambung;
Seterusnya.. | komentar

Mari Kita Lepas, Kita Lepas Jiwa Mencari

Perempuan dalam Kehidupan Chairil Anwar 

Sri Ajati  yang membuat Chairil Anwar tergila-gila/ Foto Istimewa

'


“Chairil Anwar itu adalah hippie pertama di Indonesia,” ujar Gadis Rasjid.

Perempuan ini adalah wartawan surat kabat Pedoman dan majalah mingguan Siasat. Ia sempat meliput operasi militer penumpasan PKI Madiun 1948. Gadis Rasjid juga pernah secara mendalam mewawancarai Sutan Takdir Alisjahbana. 10 wawancara yang dilakukan Gadis Rasjid dengan tokoh kebudayaan tersebut diterbitkan menjadi buku bertajuk Di Tengah-tengah Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1949).
Menurut Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain (2010), Gadis Rasjid adalah seorang pekerja yang ulet. Apa pun yang dipercayakan kepadanya, pasti akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

“Pada dasarnya dia memang wartawan yang mulai menceburkan dirinya pada awal revolusi kemerdekaan, sehingga mempunyai sikap bebas yang mungkin dianggap kurang cocok oleh sebagian manusia Indonesia sekarang yang pernah mendapat indoktrinasi yang feodalistis,” tambah Ajip.

Gadis Rasjid adalah salah seorang perempuan yang namanya diabadikan oleh Chairil dalam sebuah sajak berjudul “Buat Gadis Rasjid” yang ia tulis tahun 1948. Sajak ini sengaja dipesan Gadis karena mereka memang dekat.

Menurut pandangan Gadis, dalam Chairil Anwar (2016), penyair ini adalah orang yang begitu hidup dan seolah-olah mau merangkul semua kehidupan. Ia juga mengenang Chairil sebagai orang yang senang pada perempuan. “Semua teman wanitanya selalu diperhatikannya,” ujarnya.

Amatan Chairil terhadap Gadis Rasjid yang ia tuangkan dalam sajaknya, menurut Ajip Rosidi, sesuai dengan kepribadian wartawan tersebut. Sikap bebas yang kurang cocok dengan sebagian orang, tetap ia pertahankan.

“Namun sikap itu tetap dipertahankannya karena sebagai bangsa muda yang sudah ‘bisa bilang aku’ tak ada pilihan lain baginya selain ‘Terbang/mengenali gurun/sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight’ dan ‘Tidak mendapat’,” tambah Ajip.

Gadis Rasjid wafat pada 28 April 1988. Ia meninggal karena terluka saat hendak meresmikan pemugaran rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Bandaneira.
Menanti Sri yang Selalu Sangsi

Sri Ajati kuliah di jurusan bahasa Belanda, Universitas Indonesia, dari tahun 1940 sampai 1942. Saat Jepang masuk, sekolah dan kampus ditutup. Anak-anak muda kemudian sering berkumpul di gedung Pusat Kebudayaan, termasuk Sri Ajati dan Chairil.

Tahun 1946, bersama suaminya Sri Ajati pindah ke Serang, Banten. Di sanalah ia kedatangan salah seorang anak angkat Bung Sjahrir, dan mengabarkan bahwa Chairil telah membuat sajak untuk dirinya.

Sajak pertama bertitimangsa Maret 1943, berjudul “Hampa”. Di bawah judul tertulis, “untuk Sri yang selalu sangsi”.

“…Sepi memagut/Tak kuasa-berani/melepas diri/Segala menanti/Menanti-menanti/Sepi.”

Sajak kedua berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di bawah judulnya lagi-lagi tertulis, “buat Sri Ajati”.

“…Tiada lagi/Aku sendiri/Berjalan/menyisir semenanjung/masih pengap harap/sekali tiba di ujung/dan sekalian selamat jalan/ dari pantai keempat/sedu penghabisan bisa terdekap.”

Sri kaget, karena ia benar-benar baru mengetahui kalau Chairil membuat sajak untuknya. Setelah pindah lagi ke Jakarta, ia melihat lagi sajak tersebut di surat kabar Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar.

“Saya tidak tahu. Saya baca di Pedoman, di situ saya baca bahwa Chairil itu cinta sama saya, tapi dia tak pernah mengatakan bahwa dia cinta sama saya,” ujarnya saat diwawancara oleh Alwi Shahab.

Sementara Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016) menulis kalau pertemuan Sri Ajati dengan Chairil adalah di sebuah studio radio di Universitas Indonesia. Selain Chairil, Sri Ajati juga mengenal Rosihan Anwar, Usmar Ismail, Gadis Rasjid, H.B. Jassin, dan lain-lain.

Menurut H.B. Jassin, seperti dikutip Hasan Aspahani, Sri Ajati adalah perempuan dengan tubuh tinggi semampai, kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam.

“Kiranya, pada tahun 40-an, tak ada pemuda yang sehat jiwa raganya yang tidak jatuh hati pada Sri Ajati,” tambah H.B. Jassin.

Menilik tampilan Sri Ajati seperti yang dituturkan H.B. Jassin, tak heran jika Chairil menyukainya. Namun yang mengherankan, berdasarkan pengakuan Sri Ajati, Chairil tak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Apakah kalimat “Sri yang selalu sangsi” adalah keraguan Chairil sendiri untuk mengungkapkan perasaannya?
Sri Ajati meninggal pada 30 Desember 2009.
Tuti, Bahaya yang Lekas Jadi Pudar

Dalam beberapa catatan tentang Chairil, tak diketahui pasti siapa sebetulnya Tuti. Nama yang hampir mendekati Tuti hanya Titi, seperti yang disampaikan Sri Ajati dalam wawancaranya dengan Alwi Shahab.

Dalam Derai-derai Cemara (1999), yang diterbitkan oleh majalah Horison, Asrul Sani menyebutkan bahwa Chairil kerap pergi ke pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul, salah satunya Toko Artic yang menjual es krim di Jalan Kramat Raya.

Entah siapa Tuti, yang jelas hasrat Chairil tumbuh juga di toko itu. Tahun 1947, ia menulis “Tuti Artic”. Es, susu, coca cola hadir dalam sajaknya. Lebih dari itu, ia tak segan mengutarakan gairahnya:

“Kau pintar benar bercium/ada goresan tinggal terasa/--ketika kita bersepeda/kuantar kau pulang--/Panas darahmu/sungguh lekas kau jadi dara/Mimpi tua bangka/ke langit/lagi menjulang…”

Aroma kisah cinta atau berahi selewatan terasa benar di pengujung baitnya. Chairil seperti tak hendak mengenang dan berlama-lama dengan kisah itu:

“Aku juga seperti kau/semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi…/hati terlantar/Cinta adalah bahaya/yang lekas jadi pudar.”

***


Tulisan bersambung;
Seterusnya.. | komentar

Kehidupan Para Perempuan dalam Puisi Chairil Anwar

Oleh: Irfan Teguh 




Bagi Chairil, kelimpahan materi saat bocah, kisah cinta, dan hayat: semuanya lekas pudar.

Pada diri Chairil Anwar ada sepenggal kalimat yang melekat: “lekas jadi pudar”. Sewaktu kecil, dia dibesarkan dengan kelimpahan harta. Bocah ini tak pernah kekurangan makanan dan mainan. Seekor ayam goreng sanggup ia gado sendirian. Mainan terbaik ia dapatkan.

“Lihatlah cinta jingga luntur/Dan aku yang pilih/tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur/rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi/pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang/gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak.”

Sajak itu ia tulis pada 1948 tanpa judul. Meski kemudian, dalam buku Aku Ini Binatang Jalang (2002), sajak itu diberi tajuk “Selama Bulan Menyinari Dadanya”. Pada bait berikutnya, ada kalimat:

“…Kalau datang nanti topan ajaib/menggulingkan gundu, memutarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembuskan kapal-kapalan…”

Menurut Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016), sajak itu adalah gambaran kebahagiaan masa bocah, kelapangan bermain, yang kemudian disadari oleh Chairil akan lekas sirna dilumat “topan ajaib” kehidupan. Ya, kebahagiaan dan keleluasaan yang cepat berlalu.

Dalam urusan asmara, setali tiga uang, Chairil jago memikat dan mudah dipikat perempuan. Gelombang cinta dan berahi mengalir deras, dan pada akhirnya tak dapat ia genggam. Sejumlah nama perempuan ia tulis dalam sajak-sajaknya: Karinah Moordjono, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Sumirat, Dien Tamaela, Tuti, Ina Mia. Ada pula yang sekadar inisial: H, K, dan Nyonya N.

Dalam pandangan Sjamsulridwan, kawannya sewaktu kecil, Chairil adalah bocah yang cepat matang. Kisah-kisah cabul dalam buku-buku yang didapat dari penyewaan dan film-film yang ditonton di bioskop membuat hasrat Chairil dan kawan-kawannya menggelegak.

“Tetapi pada Chairil penyaluran ini agak kasar kelihatannya,” ujar Sjamsulridwan seperti dikutip Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016).
Terkenang Karinah

Meski nama perempuan pertama yang ditulis dalam sajaknya adalah Ida Nasoetion, tapi sesungguhnya yang mula-mula hadir dalam hidupnya adalah Karinah Moordjono. Gadis itu ia kenal saat masih tinggal di Medan. Karinah anak seorang dokter.

Dan Chairil, dengan daya pikat yang dimilikinya, yang kerap melahirkan rasa iri kawan-kawannya karena selalu mampu mendapatkan perhatian gadis tercantik di kelas dan kampung lain, terpikat pada Karinah. Sekali waktu ia teringat pada gadis itu, lalu menulis sajak berjudul “Kenangan”.

“…Halus rapuh ini jalinan kenang/Hancur hilang belum dipegang…”

Chairil menulisnya pada 19 April 1943, saat usianya menginjak 21 tahun dan sudah tak lagi tinggal di Medan. Tak lagi berdekat-dekatan dengan Karinah.

“Ini mungkin cinta yang terlambat untuk sebuah cinta monyet, tapi terlalu lekas untuk sebuah hubungan yang serius. Tapi dari sajaknya kita bisa melihat betapa seriusnya Chairil menjalin hubungan,” tulis Hasan Aspahani.

Cinta awal itu bagi Chairil membangkitkan kenangan, meski “halus rapuh” dan akhirnya “hancur hilang”. Kegagalan hubungan dengan Karinah di usianya yang masih belia, entah berlangsung lama atau sebaliknya, kiranya tetap menyisakan sesal. Sajak itu dipungkas dengan kalimat:

“Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia”

Ida, Aku Mau Bebas dari Segala

Ida Nasoetion adalah mahasiswi sastra Universitas Indonesia. H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana memujinya sebagai penulis esai dan kritik sastra yang gemilang. Ia pernah bekerja di kantor bahasa bentukan Jepang. Di tempat itu para sastrawan berkumpul, termasuk Chairil. Dan mudah ditebak, ia jauh hati pada Ida. Kegembiraan menyelimutinya. Harapan berpendaran, ia riang bagai bocah. Februari 1943, ia menulis sajak “Ajakan”:

“Ida/Menembus sudah caya/Udara tebal kabut/Kaca hitam lumut/Pecah pencar sekarang…”
Jika hidup Chairil umpama kabut tebal dan hitam lumut, maka kehadiran Ida membuatnya hilang berganti cahaya yang memecah dan memencar. Masa remaja seolah kembali datang.

“…Mari ria lagi/Tujuh belas tahun kembali/Bersepada sama gandengan/Kita jalani ini jalan…”


Namun, rupanya ajakan Chairil hanya berhenti sebagai ajakan. Sebab Ida tak menyambutnya. Kepada H.B. Jassin ia pernah berkata, “Chairil itu memang binatang jalang yang sesungguhnya. Namun, apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak keruan itu?”

Meski ucapan Ida tak disampaikan oleh H.B. Jassin kepada Chairil, tapi kiranya penyair itu merasakan juga sikap Ida. 7 Juni 1943, Chairil menulis “Bercerai”. Dua kali ia menulis kalimat: “Kita musti bercerai…”

Sebulan setelah menulis sajak tersebut, Chairil menulis pidato untuk dibacakan di depan Angkatan Baru Pusat kebudayaan, sebuah lembaga kebudayaan yang dibentuk Sukarno pada zaman Jepang. Sekujur naskah dipenuhi nama Ida. Rupanya ia belum ikhlas betul melepaskan perempuan itu. Penulisannya pun tak lazim seperti teks pidato. Untuk hal ini, berikut alasan Chairil:

“Sengaja tidak kuberi bentuk pidato pada pembicaraan ini, karena pidato melepas-renggangkan dari pembicara rasanya. Jadi kucari bentuk lain. Ada teringat akan menerang-jelaskan saja, sambil menganjurkan, sekali-sekali menyatakan pengharapan,” ujar Chairil.

Setelah pembuka, Chairil mengawali bagian pertama pidatonya dengan kalimat, “Ida! Idaku-sayang.” Bagian berikutnya nama itu muncul lagi, “Ida! Rangkaian jiwa, lihat!” lalu dilanjutkan dengan, “Ida! Ida! Ida!” Alinea terakhir pidato dipungkas dengan kalimat pertama, “Sayangku mesra.”

Ida benar-benar telah menawannya. Tak tergapai, tapi begitu kuat membelenggu. Hingga pada 14 Juli 1943, Chairil menulis sajak “Merdeka”:

“Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida…”

Sumpah dan cinta pada Ida yang semula ia percayai, hingga menjadi sumsum dan darah, serta seharian dikunyah-dimamah, pada akhirnya tak membebaskannya.

Kesudahan hidup Ida Nasoetion tragis. Ia hilang saat melakukan perjalanan ke Bogor pada tahun 1948. Koran De Locomotief dan Het Dagblad melaporkan peristiwa itu.

“Seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasoetion hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi,” tulis De Locomotief.


Tulisan bersambung;
Seterusnya.. | komentar

Jejak Sunyi Waode Nur Iman di Masjid Muna

Jumat, 18 Mei 2018

Waode Nur Iman
Nama Waode Nur Iman tercatat sebagai salah satu penyair perempuan, yang turut menulis puisi esai asal Sulawesi Tenggara. Perempuan yang lahir di Oelongko, 22 Agustus 1984 ini, sehari-harinya beraktivitas sebagai penyira berita di TVRI Sultra. Sajak-sajak yang ia tulis pernah dipublikasikan di berbagai koran lokal.

“Puisi esai menurut saya sesuatu yang menarik. Penulis lebih leluasa dalam mengekspresikan pikirannya. Dalam puisi pada umumnya, penulis terbatas dalam menjelaskan detail maksud yang ingin disampaikan. Penulis dimanjakan catatan kaki. Ini menarik sekali,” ungkap perempuan alumnus Sastra Indonesia FIB Universitas Halu Oleo.

Waode mengatakan bahwa dirinya menulis puisi esai berjudul “Jejak Sunyi Masjid Muna”. Masjid ini berada di Pulau Muna, Sultra, sebagai penanda sejarah awal mula masuknya Islam di Muna, yakni sekitar tahun 1600-an. Pada saat itu, Islam belumlah menjadi agama resmi. Pada tahun 1716, Islam baru menjadi agama resmi kerajaan. Saat ini, Masjid Muna tidak difungsikan secara maksimal oleh masyarakat Muna sendiri.

Meski banyak yang kontra terhadap puisi esai, kata Waode melalui pesan WA pada Senin (22/01), “Yang membuat kita kaya adalah perbedaan. Secara pribadi, saya tidak mau ambil pusing. Bagaimanapun bentuknya, berkarya itu hak setiap orang selama penulis tidak mengganggu kebahagiaan dan kenyamanan orang lain, selanjutnya tugas pembaca adalah menilai kualitasnya. Saran saya kepada yang kontra: tolong baca dulu karyanya! Nanti setelah itu baru menghujat kalaupun memang harus menghujat. Saya khawatir, jangan-jangan belum tahu isi puisi esai yang dimaksud. Mohon bijaklah!”

Wa Ode Nur Iman mengenal puisi esai dari terbitnya buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disertai polemik.

“Wajar saja. Secara, tokoh DJA baru dalam dunia sastra Indonesia. Namun saya pikir, ini bukan alasan untuk tidak belajar membaca kemudian menerima esensi puisi esai. Saya ragu terhadap teman-teman yang kontra. Jangan-jangan  mereka sebenarnya bukan membenci puisi esainya, tetapi membenci DJA. Mereka cemburu karena DJA mampu menggandeng penulis-penulis dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sementara kelompok yang kontra, hanya mampu melakukan gerakan serupa kecuali ada sponsor dari pihak-pihak terkait. Seandainya puisi esai lahir dari tokoh yang lain, kira-kira bagaimana yah respons penerimaan mereka? Awalnya, saya menemukan salah satu edisi jurnal sajak yang memuat puisi DJA. Kemudian mendapat tawaran menulis puisi esai,” ungkap ketua Rumah Andakara di bidang kajian seni, sastra, dan budaya ini.

Sementara tanggapan Waode Nur Iman terkait beberapa teman yang mengundurkan diri dari proyek penulisan puisi esai, yakni “Mengapa mundur? Kamu menyesal menulis puisi esai? Memangnya apa yang kamu tulis? Hujatan terhadap orang lain (kalau benar, wajar kamu mundur)? Atau jangan-jangan karena di-bully atau merasa diasingkan oleh kelompok lain? Kelompok yang mana? Mengapa tidak menulis saja secara merdeka? Bukankah semua yang lahir adalah pemenang? Maka tidak ada alasan untuk tidak merdeka.”

Salah satu alasan Waode Nur Iman menulis puisi esai, yakni menuangkan gagasan dalam puisi secara bebas dan ilmiah melalui riset. Sementara komentar Waode terhadap teman-teman yang pro puisi esai, yakni “Kita tidak sedang membangun kelompok-kelompok. Kita sedang melakukan gerakan menulis, yang jenis tulisannya sama. Maka mari kuatkan isi tulisan kita tanpa memusuhi mereka yang kontra!” (sumber: http://puan.co/)

Seterusnya.. | komentar

Puisi Esai Bukan Genre Baru

Rukmi Wisnu Wardani
Rukmi Wisnu Wardani adalah penyair kelahiran Jakarta, yang telah menulis puisi sejak tahun 2000-an. Di tahun-tahun itu, modem masih bermusuhan dengan CPU. Rukmi pun mesti mencolokkan kabel telepon supaya bisa terhubung ke dunia maya. Plus mesti sabar kalau tiba-tiba koneksinya terputus.

Karena menyukai dunia tulis-menulis, alumnus Universitas Trisakti ini mengikuti beberapa milis di era itu, seperti Puisi Kita, Sastra Sufi, Sastra Malaysia, milis Bunga Matahari, dan beberapa lainnya. Ia dulu paling aktif di milis Penyair, yang kemudian bersama teman-teman membikin Yayasan Multimedia Sastra. Di kemudian hari, nama milis Penyair berganti menjadi Cybersastra.

Sebagai penulis perempuan, sumbangsih  Rukmi terhadap sastra Indonesia yang paling terpenting adalah sedapat mungkin ikut peduli sekaligus ikut menjaganya. Minimal tidak merusak dan tidak merendahkan ranah keilmuan sastra itu sendiri.

Ketika ditanya  polemik sastra Indonesia tentang puisi esai, kata Rukmi pada Sabtu (20/01), “Saya merasa sedih, kesal, marah, dan ikut prihatin. Semestinya, polemik itu tidak berkepanjangan. Namun, ketika ada seseorang dan/atau sekelompok orang yang dengan sengaja melakukan upaya sewenang-wenang: melangkahi ranah bidang keilmuan sastra yang tidak membawa manfaat bagi sastra Indonesia, apalagi sampai diamini oleh beberapa lingkaran, yang semata-mata demi popularitas, kekuasaan, ketenaran, serta terbukti melakukan penyesatan dan pembodohan terhadap publik, sekaligus terbukti memanipulasi sejarah dunia sastra Indonesia, tentu harus diingatkan dan diedukasi. Lebih memprihatinkan lagi, justru adanya sederet nama sastrawan yang dianggap senior malah berpendapat bahwa kedudukan puisi esai di Indonesia menawarkan sebuah kemungkinan yang baru.”

Rukmi menambahkan “Menurut saya puisi esai  itu seperti cerita biasa saja. Padahal, jika dicermati kembali apa itu puisi esai lewat tulisan Saut Situmorang yang berjudul “Adakah Puisi dan Esai dalam Puisi Esai DJA?” jelas kok di sana dijabarkan. Singkatnya, puisi esai merupakan gabungan dua genre sastra, yaitu puisi dan esai. Dengan catatan, bentuknya puisi, tetapi isinya esai. Esai sendiri harus analitis, interpretatif, dan kritis tentang suatu topik. Baca juga status facebook Ahmad Yulden Erwin di media sosial yang menyentil perkataan DJA, termasuk para pengikutnya, yakni dikatakan bahwa inti puisi esai karena adanya catatan kaki!  Padahal, catatan kaki adalah adalah daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan, atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan (bibliografi).”

Melihat ramainya publik sastra yang menandatangani petisi, sampai muncul pula beberapa gerakan penolakan puisi esai, Rukmi menganalogikan kisah ini dengan seorang dokter. Lalu, tiba-tiba muncul orang yang tidak pernah menimba bidang kedokteran apalagi formal, lantas mengaku sebagai dokter. Namun oleh sebagian kelompok kecil, ia dibenarkan sebagai seorang dokter. Inilah yang sekarang terjadi di sastra Indonesia. Ini yang menimbulkan gerakan penolakan puisi esai.

“Menurut saya, perihal puisi esai itu sudah bukan dalam kategori mengotori, tetapi sudah masuk ke dalam bentuk upaya pembodohan karena berisi kebohongan kepada publik, termasuk memanipulasi sejarah sekaligus merusak bidang keilmuan sastra itu sendiri. Mirisnya, hal itu dikunyah oleh para penulis muda di berbagai daerah. Oleh sebab itu, hal-hal yang dapat mencederai mereka di kemudian hari harus dikabarkan secara meluas dan dihentikan!” ungkap penyair perempuan yang puisi-puisinya telah dimuat di berbagai antologi ini.

Rukmi menambahkan bahwa puisi esai bukanlah genre baru. Hal ini sudah diulas oleh para sastrawan yang memang mumpuni dan sudah meneliti dengan saksama berdasarkan keilmuan yang ada. Bukan sekadar asal-asalan. Ada hal yang sebenarnya membikin lucu dalam upaya pembodohan itu. Coba perhatikan! Segala bentuk yang ada sangkut pautnya dengan puisi esai tak pernah lepas dari unsur uang yang selalu menjadi bayang-bayangnya. Ahda Imran adalah satu di antara sekian banyak penyair yang meneriakkan hal itu. Dengan kondisi ini, jelas kelihatan perbedaannya, seseorang yang memang memiliki nama besar karena kualitas karyanya dan orang yang menginginkan namanya besar dengan memakai pengaruh uangnya.

“Melalui facebook, beragam tulisan maupun status tak henti bermunculan seputar kabar tentang banyaknya para penulis (terutama penulis muda), yang diminta menulis puisi esai berdasarkan pesanan dengan jumlah honor yang menggiurkan. Bagi yang mungkin minim informasi tentang gagalnya genre itu, ‘kan kasihan. Di satu sisi, ia tidak tahu bahwa dirinya sedang dibohongi, sementara di sisi lain ada besaran nilai uang yang menunggu untuk dimiliki jika mau ikutan proyek puisi esai,” ungkap penyair perempuan yang kontra terhadap puisi esai.

Rukmi mengaku pernah punya pengalaman terkait puisi esai sekitar tahun 2013. Waktu itu, beberapa penulis termasuk Rukmi sempat dihubungi oleh Fatin Hamama R. Syam (FH). Dia meminta kesediaan Rukmi dan beberapa teman untuk menulis puisi esai. Honornya Rp3 juta. Rukmi ingat ketika itu bertepatan dengan keberadaan ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit.

“Di antara perhatian yang saya dan keluarga curahkan kepada ibu, dengan adanya tambahan dari honor itu (jika saya menulis pesanan puisi esai itu), saya bisa ikut membantu keperluan ibu, juga kebutuhan rumah tangga kami, maka saya mencoba untuk menulis. Namun permintaan itu tak pernah bisa terealisasi, sebab selain menurutku puisi esai DJA itu ganjil karena harus ada catatan kaki, saat itu saya memang sudah berusaha menulis, tetapi gagal untuk dituliskan. Saya sempat mebolak-balikkan halaman buku puisi esai Atas Nama Cinta-nya DJA, tetapi tetap saja saya tidak bisa menuliskannya. Selang beberapa waktu kemudian, ibu meninggal dunia,” tutur Rukmi.

Ketika waktu deadline sudah semakin mepet, Rukmi masih mencoba menulis puisi esai di masa berkabung yang masih sangat kental itu. Anehnya, komputernya mendadak rusak. Tiba-tiba tidak  mau menyala. Sempat pula Rukmi meminjam komputer adiknya. Hasilnya sama: komputernya tiba-tiba rusak juga. Menyala sebentar, kemudian  mati lagi. Terus begitu berulang-ulang. Sampai akhirnya tidak bisa menyala sama sekali.

Yang lebih unik lagi dalam masa berkabung itu, Rukmi secara tidak sengaja sempat berbincang dengan seseorang tentang dua komputernya yang mendadak rusak. Seseorang itu berujar bahwa Rukmi sedang tidak diizinkan menulis, kecuali memperbanyak ibadah serta mendoakan kedua orang tua, terutama ibunya yang baru saja meninggal. Mendengar nasihat itu, Rukmi kaget luar biasa.

“Singkat cerita, saya batal menulis puisi esai dan mengabarkannya kepada FH karena faktanya memang tak satu kata pun tertulis. Tak lama setelah itu, saya kaget saat mendengar gonjang-ganjing seputar polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh plus buku 23 penyair yang diminta menulis puisi esai itu.  Sungguh, saya sedih mengingat hal itu, terlebih saat membaca nama seorang kawan  sejak zaman Cybersastra, yaitu Sihar Ramses Simatupang (SRS). Ia berjuang menarik tulisannya di dalam buku 23 penulis puisi esai pesanan itu. Hingga saat itu, saya terus mengikuti kabar susah payahnya ia mengumpulkan uang untuk sesegera mungkin mengembalikan Rp3 juta yang sudah diterimanya dan sudah terpakai untuk kebutuhan hidupnya sekeluarga,” ucap Rukmi.

Masih lekat dalam ingatan Rukmi saat SRS menawarkan bonsai kesayangannya, juga beberapa koleksi batu akiknya yang dijual lewat media sosial. Sedih itu bertambah ketika Rukmi ingat, masa-masa awal FH meminta kesediaannya menulis puisi esai. FH kemudian  meminta nomor telepon genggam SRS kepadanya. Rukmi pun langsung memberikan tanpa menanyakan terlebih dulu kepada SRS. Rukmi menyesal sekali. Andai saja waktu itu ia tidak memberi nomor telepon SRS, SRS pasti tak akan sampai mengalami kesulitan seperti itu. Hal selanjutnya yang Rukmi lakukan, yaitu menghubungi SRS dan meminta maaf atas keteledorannya.

“Kalau tak salah ingat, hampir bersamaan beberapa penulis melakukan protes karena merasa diakal-akali FH demi tujuan terselubung, yang semata-mata dilakukan untuk mendongkrak nama DJA. Satu-persatu mengembalikan honor sekaligus menuntut karya mereka dicabut dari buku 23 itu. Lalu mencuatlah polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu.  Nama DJA sebagai salah satu tokoh yang muncul di dalamnya. Di sanalah makin nampak jelas bencana tengah menimpa dunia keilmuan sastra Indonesia. Iwan Soekri juga Saut Situmorang justru dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap FH dan dijerat UU ITE. Malah di kemudian hari, Saut Situmorang dikriminalisasi dan dipidanakan,” kata Rukmi.

Dalam perkembangan kabar yang Rukmi ikuti, Iwan Soekri menempuh jalan damai. Sementara Saut Situmorang tetap bersuara keras menentang dan tak henti mempertanyakan keganjilan yang telah dilakukan oleh tim 8 (para penyusun buku 33 tersebut). Upaya untuk mengadakan debat terbuka pun telah ditawarkan. Namun DJAdan tim penyusun buku iu tidak menghiraukannya.

“Saya juga masih ingat. Di suatu pagi, saat tak sengaja membaca status facebook Saut Situmorang,  Ia memberitakan bahwa rumahnya kedatangan polisi. Ia dijemput paksa dari Yogyakarta untuk dibawa ke Jakarta atas kasus yang pencemaran nama baik yang menimpanya. Di sanalah gelombang penolakan terhadap DJA dan lingkarannya semakin besar,” kata Rukmi.

Rukmi melanjutkan bahwa puisi esai mirip dengan puisi naratif. Sekalipun tidak bisa disejajarkan dengan puisi naratifnya W.S. Rendra, terbitan Balai Pustaka dengan judul Blues Untuk Bonnie. Bedanya jelas, seperti bumi dan langit.

Ketika puan.co menanyakan apakah puisi esai dianggap sebagai genre yang menyimpang sehingga banyak sekali gerakan penolakan terhadapnya? Rukmi mengatakan bahwa ini bukan porsinya untuk menjawab, mengingat kapasitas pendidikannya bukanlah sastra, melainkan Arsitektur. Rukmi hanya bisa bilang bahwa berawal dari upaya para tim penyusun buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh mengangkat nama DJA, yang disinyalir tak lepas dari faktor uang itu adalah hal yang mengada-ada sekaligus sangat memalukan.

“Lah, wong sudah ada penjelasan dari para sastrawan kok, yang menulis model seperti itu sudah pernah ditulis oleh Alexander Pope, penulis asal Inggris pada abad ke-18. Bukan hanya satu sastrawan loh yang mengatakan hal itu. Kita mesti banyak belajar dari tulisan para sastrawan karena mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi integritas. Sangat kecil kemungkinan, mereka melakukan akal-akalan dalam menulis esai, kritik, dll. Nama baik mereka dipertaruhkan di sana,” ungkap Rukmi.

Sejak Rukmi mengikuti berita hangat seputar polemik sastra Indonesia yang terjadi (lagi) belakangan ini, ia sadar bahwa menulis itu tidak mudah. Ada pakemnya, ada aturan-aturannya, dan hukum-hukumnya. Buktinya simpel. Adanya fakultas sastra yang berdiri dan tersebar di seluruh dunia menunjukkan bahwa sastra itu salah satu bidang keilmuan. Bukan ranah tempat orang asyik mengkhayal belaka, menuliskan hasil khayalannya, lalu serta-merta mengecap dirinya sebagai penyair, sastrawan,  ataupun tokoh sastra paling berpengaruh. Terlebih lagi kalau ada unsur uang yang bermain di balik itu semua. (sumber: http://puan.co/)

Seterusnya.. | komentar

Isu Perempuan dalam Puisi Esai


Fatin Hamama R. Syam
 Puisi esai di mata Fatin Hamama R. Syam (FH) sama pentingnya dengan puisi-puisi konvensional di Indonesia. Bedanya, puisi esai lebih mengangkat isu-isu sosial yang selama ini belum banyak diangkat ke dalam puisi, juga ada unsur ilmiah dan riset. Sebab masalah-masalah sosial di Indonesia saat ini sangat kaya dan beragam.

Bila biasanya banyak yang bosan membaca data saja, kini data itu diolah ke dalam puisi agar bisa lebih menarik di mata pembaca. Puisi esai menurut FH adalah perpaduan antara fakta dan fiksi.

“Semuanya tergantung niat dan sudut pandang. Bila kita menyikapinya dengan positif untuk membangun kebudayaan, memberikan kontribusi, dan mencari kemaslahatan untuk Indonesia, semuanya akan menjadi baik,” ungkapnya via telepon

Dari 34 provinsi se-Indonesia, penulis puisi esai sebagiannya adalah perempuan. Perbandingannya dengan penulis laki-laki sekitar 1:3. Dari Jakarta ada 2 penyair perempuan, selebihnya 1 penyair perempuan, sebut saja dari Aceh, Medan, Riau, dan Sumbar. Namun, FH tidak melihat latar belakang penulisnya sebab nama besar seorang penulis belum tentu menjamin kualitas karya.

“Semua penulis di mata saya adalah sama, baik itu penulis baru maupun lama. Semuanya punya tempat. Kita tak bisa memilah-milah berdasarkan nama. Banyak yang sudah punya nama, bisa jadi dalam satu karya ia lemah. Banyak yang belum punya nama besar, bisa saja ia lebih bernas. Pada akhirnya, yang menilai adalah masyarakat” ungkapnya.

Sejauh ini, isu-isu perempuan dalam puisi esai menjadi bagian yang penting. Dalam proyek penulisan puisi esai nasional jilid II ini, ada isu tentang perempuan yang sangat menarik. Dari Bengkulu, misalnya. Ada yang mengangkat masalah Yuyun, anak yang diperkosa kemudian dilempar ke jurang. Selain itu, ada juga kisah cinta Fatmawati dan Soekarno.

Dalam buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta yang ditulis DJA, beberapanya mengangkat isu-isu perempuan, misalnya kisah tentang Fang Yin – si gadis Tionghoa yang diperkosa saat tragedi Mei 1998, kisah cinta beda keyakinan, kisah TKW yang membunuh majikan karena dilecehkan, dan lain sebagainya. Puisi esai memang lebih banyak mengangkat tema-tema sosial, seperti diskriminasi, perebutan tanah, perebutan hak waris, kriminal, dan masih banyak lagi.

Dengan adanya berbagai isu sosial ini, terutama mengangkat permasalahan perempuan, FH mengatakan ini sebagai upaya menyuarakan ketidakadilan atas nama perempuan.

“Kalau kita berpikir lebih objektif dan ada suatu kesadaran, saya merasakan ada ketimpangan. Terlalu banyak mereka yang menghujat tanpa melakukan sesuatu. Kebanyakan melihat celah buruknya saja. Saya ingin orang melihatnya dengan jernih. Jika puisi esai menjadi perbincangan, mengapa mereka tidak membuat sesuatu yang juga baru? Supaya kebaruan itu juga akan menghiasi taman bunga sastra dengan keberagaman yang lain. Sastra Indonesia bisa menjadi lebih kaya,” tuturnya.

FH – penulis buku puisi berjudul Papyrus (Love, 2006) sekaligus koordinator penulisan puisi esai di Indonesia bagian barat – mengatakan bahwa dirinya juga pernah menulis puisi esai berjudul “Jelaga Kembang Raya”. Puisi ini menceritakan tentang seorang perempuan yang lama hidup di jalanan semenjak ayahnya kawin lagi. Hidupnya sangat melarat sehingga membuatnya harus mencuri demi bertahan hidup. Sejak SD, ia telah dijuluki sebagai pencuri. Ketika SMP, ia rela menjual tubuhnya demi mendapat apa saja yang bisa dimakan. Kemudian ia berpetualang mencari cintanya di jalanan. Di sepanjang hidupnya, ia menaruh dendam yang besar terhadap ayahnya.

Pertama kali puisi esai hadir di Indonesia sekitar tahun 2013. Keberhasilan puisi esai khususnya dalam mewacanakan persoalan  sosial di Indonesia, menurut FH dirinya belum bisa menyampaikan keberhasilan itu. Sebab ini masih proses menanam bibit.  Di Indonesia sendiri, puisi esai baru tumbuh dan berkembang. Namun, FH melihat proses ini sebagai suatu usaha positif dalam mengembangkan kebudayaan.

Banyak yang beranggapan bahwa puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang ada. FH mengatakan bahwa dalam berkarya, setiap orang dilindungi undang-undang untuk berkarya selagi tidak melanggar hukum.

”Bila memang puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang  ada, lalu bagian mana dari puisi esai yang menyalahi undang-undang? Apa orang tidak boleh berkreasi?” tambahnya.

Mengenai mereka yang mengundurkan diri dari penulisan puisi esai, Fatin menuturkan bahwa dirinya tidak menerima transfer pengembalian itu. Semua masalah keuangan ditangani oleh bendahara.  Oleh bendahara, uang itu dikembalikan lagi ke yang bersangkutan sebab uang tersebut sudah menjadi hak penulis. Penulis yang menyatakan mundur dari puisi esai, puisinya akan tetap dimuat karena sesuai dengan perjanjian awal kontrak di atas meterai. Menurutnya, kesepakatan yang telah dibuat tetaplah harus dihormati.

Ketika puan.co menanyakan kepada FH terkait mereka yang mengundurkan diri, FH menuturkan bahwa ia tidak mau menyinggung masalah tersebut karena bisa memperkeruh suasana.

“Apa pun yang saya tuturkan nantinya, di mata orang yang tidak suka, yang saya ucapkan pastilah salah. Mereka yang suka puisi esai saya hormati, mereka yang tidak suka puisi esai juga saya hormati. Saya hanya kurang bisa menerima bila ada yang berkomentar kasar dan menyakiti. Buat dan ciptakanlah sesuatu yang baru! Jangan orang yang berkaryanya yang ditolak! Semua harus berangkat dari sisi positif, maka semua yang terlihat adalah hal baik.”

Lalu, di mana peran perempuan bila ada orang-orang berkomentar kasar?

“Kembalilah ke rumah! Ajari anak-anak untuk tidak berkata kasar! Ajari anak-anak menggunakan bahasa yang santun! Kalau seorang ibu terbiasa berbicara kasar dengan anak-anaknya, itulah yang akan kita tuai. Saya ibu beranak dua dan nenek dari seorang cucu. Pesan saya kepada para perempuan ‘Jangan pernah memaki anak! Gunakanlah bahasa yg baik!’ Jangan bilang bandel atau nakal, tapi carilah kata yang lebih baik! Sebab lidah seorang ibu itu keramat. Besarkanlah anak dengan kasih sayang! Bahasa adalah salah satu medium yang penting untuk berkomunikasi,” tuturnya.

Menurut FH, perbuatan bully, melecehkan, menista, dan persekusi itu sudah diatur dalam undang-undang. Yang suka melakukan persekusi adalah mereka yang kehilangan  bahasa batin. Sementara bahasa batin adalah bahasa ibu yang disampaikan kepada anaknya.

“Ketika ada yang berkomentar kasar  ke saya, saya tidak akan membalasnya dengan caci maki sebab saya menghindari perdebatan. Siapa pun yang berkarya, saya akan mendukung. Saya juga akan menghargai setiap karya karena kita berkarya dijamin undang-undang. Sebab kita punya kemerdekaan untuk bekarya.

Fatin hanya berharap bila ada yang melakukan kesalahan, jangan langsung menghakimi. Kita harusnya saling membina, bukan membinasakan. Hingga saat ini, FH sudah bersedia berbicara dengan teman-teman di ruang terbuka.

Berbeda pula dengan Sri Asih, penulis lima belas buku asal Pasuruan Jawa Timur. Dirinya mengaku sempat sangat ingin mengikuti lomba puisi esai yang berhadiah Rp5 juta. Namun sayang, penulis paruh baya ini tidak sempat mengikuti karena waktunya bersamaan dengan ibadah haji.

“Proyeknya tentu tertarik sebab uang hadiahnya bisa digunakan untuk membeli laptop. Bagi saya, penulis memiliki kebebasan untuk berkreasi, berimajinasi, serta menuangkan ide dan suara hati, termasuk DJA dan polemik yang berkembang,” ucapnya. (sumber: http://puan.co/)
Seterusnya.. | komentar
++++++

Solilokui

Sekilas Penyair

Marlena
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger