Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Karcis Berdarah

Rabu, 23 Agustus 2017

Pentigraf: Lilik Rosida Irmawati



Perempuan itu termangu, genangan air mata bersimbah tetapi dia tak peduli. Beberapa penumpang acuh saja melewati menuju bangku belakang, bus hampir penuh. Rupanya tidak ada satupun penumpang yang bersedia duduk sebangku dengan perempuan yang terisak-isak, wajah murung, tatapan kosong dan pasi. Setelah tengok kesana kemari akhirnya aku memutuskan duduk disebelahnya. Bergidik hatiku ketika bersirobok dengan tatapannya, penuh luka berdarah.

Bus perlahan meninggalkan terminal, mengerling sembunyi dari gelap kacamata kuperhatikan lebih seksama. Usianya sekitar tiga puluh tahun, wajah tirus dan semakin pucat terlihat dari slayer merah maron yang melilit dilehernys. Tujuannya Caruban begitu kondektur mencoret di karcis dengan spidol merah. Tak berapa lama perempuan itu menuliskan sesuatu dibalik karcis dan tangannya bergetar menyodorkan padaku, " aku sedang ingin menuju kesunyian yang abadi,"

Bulu kudukku merinding dan keringat dingin mulai menetes. Tak ada sesuatu yang aneh ketika kutengok depan, kiri dan belakang. Seakan memahami kegelisahanku perempuan itu tersenyum dan mengalihkan pandangan pada karcis yang masih kupegang, darah menetes perlahan. Secara reflek sopir menginjak rem ketika terdengar teriakan ketakutan keluar dari mulutku. Semua mata melongo menatap penuh tanya ketika kuacungkan selembar karcis, darah semakin deras mengucur. Kulihat seringai perempuan itu sebelum tubuhku lunglai, terjatuh.

31-01-2017


Seterusnya.. | komentar

Pulang Haji

Senin, 14 Agustus 2017

Cerpen Juwairiyah Mawardy 

PERSIAPAN untuk menyambut kepulangan Haji Mahtum semakin hari semakin sibuk. Beberapa mobil sudah dicarter untuk para tetangga yang akan turut menyambut. Haji Mahtum sudah berpesan sebelum berangkat haji agar para tetangga dekat bisa turut menyambut kedatangannya bersama keluarga dengan biaya ditanggung Haji Mahtum.

Bagi Haji Mahtum, keberangkatannya yang pertama kali sebagai haji ini adalah berkah hidup yang tiada terkira. Meski sudah bertahun-tahun dia menjadi orang kaya yang sukses, ‘cap’ haji belum menempel di depan namanya.

Khusus untuk para tetangga, mobil carteran sudah dipesan. Khusus untuk keluarga, mobil-mobil Haji Mahtum sendiri yang sedianya akan dipakai. Puluhan sepeda motor pun sudah ‘dikontrak’ untuk menyambut dari batas kota pada saatnya nanti.

Tidak seperti kebanyakan tetangganya yang mengirimkan perubahan namanya setelah selesai ibadah haji, Haji Mahtum tetap memakai nama yang memang disandangnya sebelum ia berhaji. Menurutnya, namanya sudah tergolong baik dan serasi jika diawali gelar haji. Haji Mahtum.

Siapa yang tidak kenal Mahtum (sebelum haji)? Ia pengusaha kaya yang baik budi. Baik keluarga maupun tetangganya telah sama-sama merasakan kebaikan budinya itu. Jauh sekali sebelum naik haji, ia telah menunaikan zakat harta setiap tahun menjelang lebaran. Tidak terhitung sedekah hariannya, baik yang rutin ke masjid desa maupun pada fakir miskin dan juga sumbangan untuk proposal-proposal kegiatan keagamaan.

Selama ini ia memang belum naik haji meski orang-orang menilai bahwa ia bisa berangkat kapan saja ia mau. Bersama istrinya yang juga baik seperti dirinya itu. Akan tetapi, Haji Mahtum berpendapat bahwa naik haji bukanlah sebuah pencitraan kesempurnaan seorang yang kaya raya. Berhaji baginya tidak semata menyiapkan bekal harta yang cukup untuk membayar ongkos berangkat dan biaya selama di Tanah Suci hingga kepulangan. Ia berkeinginan bahwa jika dia berhaji nantinya akan menjadi lebih baik sebagai hamba Allah, menjadi husnul khatimah(semakin baik di akhirnya).

Haji Mahtum tidak ingin hajinya hanya menjadi haji kuantitas dalam rangka menaikkan citra dirinya sebagai anggota masyarakat. Ia ingin hajinya nanti benar-benar menyempurnakan agamanya karena telah menuntaskan semua rukun Islam.

Sejak dulu ia berpikir betapa tak bijaknya dia jika setiap tahun naik haji dengan istrinya karena harta demikian cukup, sementara banyak sanak saudaranya yang kesulitan mendapatkan nafkah sehari-hari meski untuk sekadar makan. Di samping itu, banyak pula tetangganya memiliki kesulitan hidup yang memerlukan uluran tangannya.

Baginya, naik haji bukanlah sebuah rekreasi yang berkedok ibadah meski secara materi ia dapat melakukan haji tiap tahun bersama istrinya. Ia tidak ingin seperti orang lain yang juga kaya raya dan hanya melaksanakan zakat harta sekali saja dalam hidupnya karena alasan akan menunaikan ibadah haji. Zakat harta tahunan dengan menyisihkan 2,5 persen dari hartanya bukanlah sebuah tiket pendaftaran yang harus dibayarkan dalam rangka akan melakukan ibadah haji, melainkan sebuah kewajiban tahunan bagi yang mampu.

Jika ada yang bertanya mengapa selama ini ia belum melakukan ibadah haji, dengan rendah hati ia akan menjawab: “Mohon doanya saja, insya Allah segera, Pak!”

Ia melakukan banyak upaya agar tetangganya tidak kesulitan bekerja. Sebagai pengusaha mebel kayu ia membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi tetangga dekatnya, terutama yang tidak mampu, untuk bekerja pada dirinya. Seorang kiai pernah menasehatinya.

“Orang kaya tidak boleh memanjakan fakir miskin dengan selalu memberi banyak sedekah, apalagi sedekah rutin. Karena setiap orang wajib melakukan usaha untuk mencari nafkah. Maka, yang harus dilakukan orang kaya bukan semata memberi sedekah saja. Alangkah mulianya jika ada orang kaya membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga dan kerabatnya yang susah mendapatkan mata pencaharian. Orang kaya seperti itu bukan hanya membantu fakir miskin, melainkan juga membantu pemerintah negara yang bingung mengentaskan pengangguran dan kemiskinan.”

Sejak itu Haji Mahtum berpikir bahwa targetnya sebagai orang kaya bukanlah naik haji berkali-kali, melainkan agar sekitarnya jauh dari kemiskinan dan pengangguran.

Dan kini, ia akan pulang haji. Hajinya yang pertama, yang benar-benar ia niatkan sebagai ibadah karena ia merasa telah cukup menyejahterakan lingkungannya, bukan hanya kerabat dan keluarganya sendiri.
Kesibukan di rumah keluarga Haji Mahtum memang sudah berlangsung sejak sebelum keberangkatannya ke Tanah Suci. Selama ia berada di negeri langka hujan itu, setiap malam para tetangga dan kerabatnya membacakan Surah Yasin demi mendoakan keselamatan dan kelancarannya selama menunaikan ibadah dan agar ia mendapatkan berkah haji mabrur (haji yang baik/haji terbaik) dari Allah.

Para tetangga berdecak kagum dengan sikap murah hati Haji Mahtum sejak dulu. Dan, kini mereka menilai, bahkan ada yang meyakini bahwa sepulang haji nanti Haji Mahtum akan semakin baik, bukan hanya ibadahnya sehari-hari, melainkan juga sikap sosialnya pada orang lain.

Sehari sebelum Haji Mahtum dikabarkan akan segera mendarat di Bandara Juanda Surabaya, tetangga yang telah dipastikan akan ikut serta bersama keluarga dengan mobil carteran sudah siap berangkat. Mereka berangkat bersama ke Surabaya dalam iring-iringan mobil yang panjang. Seperti rombongan pengantar pejabat ke daerah. Ini sebagai tanda syukur karena telah tunai melaksanakan ibadah haji.

Tiba di Surabaya, mereka tak sabar ingin segera melihat seraut wajah Haji Mahtum yang budiman itu. Pastilah wajahnya penuh cahaya. Labbaikallahumma Labbaik…. Labbaika La Syarikalak….
Pesawat yang ditumpangi jamaah haji kloter sekian sudah diumumkan telah tiba di Bandara Juanda. Hanya dua orang dari pihak keluarga inti yang diperbolehkan menjemput langsung ke dalam asrama. Selebihnya menunggu di luar pagar berdesakan. Kakak laki-laki Haji Mahtum dan seorang pamannya yang menjemputnya ke dalam.

Betapa lamanya menunggu, meski hanya seperempat jam. Dua orang yang menjemput itu tidak segera menampakkan dirinya kembali. Orang-orang tak sabar ingin melihat, merangkul, memeluk, mengucapkan selamat, dan meminta doa Haji Mahtum. Orang-orang percaya bahwa selama 40 hari pertama seseorang tiba di tanah airnya sepulang haji, malaikat pemberi rahmat masih mendampinginya sehingga doa sang haji itu akan mudah makbul atau diterima Allah.

Wangi minyak khas orang berhaji, yaitu minyak Hajar Aswad (batu hitam), menyeruak di sekitar orang-orang. Menindih aroma keringat dan kelelahan para penjemput maupun aroma lainnya. Orang-orang terus berdesakan, tidak hanya yang menjemput Haji Mahtum, tetapi juga jamaah haji lainnya.

Beberapa saat kemudian, paman Haji Mahtum keluar. Wajahnya sepucat mayat, seperti tak berdarah. Lunglai ia berjalan ke arah keluarganya. Ia menghampiri paman Haji Mahtum yang lain. Suasana mencekam dan penasaran mulai terasa menular di sekitar penjemput Haji Mahtum. Ada yang tidak beres. Haji Mahtum tidak ikut serta. Pun kakaknya yang tadi masuk ke dalam. Pun istri Haji Mahtum yang semula bernama Mahiyati menjadi Hajjah Mahtumah, belum tampak keluar.

Bisik-bisik dengan cepat menyebar di antara para penjemput. Haji Mahtum terkena serangan jantung begitu menginjakkan kakinya di tanah air dan kini kritis. Dokter asrama haji sedang berusaha menolongnya.

Semua orang tampak berduka. Mereka komat-kamit membaca doa bagi keselamatan jiwa Haji Mahtum yang mereka kagumi dan hormati serta cintai itu. Haji Mahtum yang selalu memikirkan orang lain. Mereka berdoa dalam hati masing-masing agar Allah masih memanjangkan umurnya. Seharusnya, seseorang yang begitu berbudi luhur dipanjangkan usianya oleh Allah agar ia senantiasa tetap menaburkan kebajikan hidup bagi sesamanya di sekitarnya.

Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Haji Mahtum tak tertolong. Ia meninggal tanpa sempat bertemu dengan para penjemput setianya. Raungan dan tangisan terdengar serentak dari semua orang, baik keluarga maupun tetangga yang menjemput. Kematian selalu menyedihkan, terutama pada saat tidak diharapkan.

Iring-iringan mobil para penjemput seperti iring-iringan pengantar jenazah seorang pahlawan menuju peristirahatan terakhirnya. Di depan sebuah mobil ambulans penuh karangan bunga duka yang membawa jenazah Haji Mahtum. Di belakangnya sebuah sedan yang membawa istri Haji Mahtum dengan kakak dan putranya. Tak henti air mata mengalir mengiringi kepulangan seorang Haji Mahtum yang pulang seterusnya ke Rahmatullah.

Di mulut desa menuju kediaman Haji Mahtum, orang-orang berdiri sepanjang jalan seperti ingin memberikan penghormatan terakhir pada seorang haji yang telah menunaikan ibadah hidupnya demikian baik.

“Orang naik haji itu ada tiga jenis. Jika setelah menunaikan ibadah haji ia meninggal dunia, malaikatlah yang memanggilnya berhaji. Jika setelah berhaji ia menjadi seorang hamba yang lebih baik, Nabi Ibrahimlah yang memanggilnya. Jika setelah naik haji ia menjadi semakin buruk perangai dan ibadahnya (su’ul khatimah), iblis-lah yang memanggilnya.” Kata-kata ini pernah diucapkan Haji Mahtum sebelum ia berangkat ber-haji. (*)

 Pulau Madura, 26 November 2010

(Republika, 12 Desember 2010)


Seterusnya.. | komentar

Badai Pasti Berlalu

Cerpen Widayanti

“Badai pasti berlalu, fren”  hibur Nuno saat kami bersiap hendak pulang dari sekolah.
“Aamiin, semoga aja ya fren. Aku suda capek menjalani ini. ngajar jadi tidak fokus gara-gara ini” jawabku sambil memandang gedung kokoh yang membentang di bagian selatan sekolahku.
“Ternyata tidak mudah ya mempunyai gedung sekolah baru, butuh pengorbanan yang luar biasa” Muhajir tiba-tiba datang menimpali dengan jaket sudah terpasang bersiap untuk pulang “kita kuat karena bersatu, salut dengan persahabatan kita” tambahnya dengan seyum mengambang.
“Saat Pak Toni menendang pak Harto katanya kamu dibelakangnya ya fren gimana ceritanya?” tanya Nuno mengingatkanku pada kejadian dua hari yang lalu. 
Siang itu kita bersama-sama pulang dari sekolah. Nuno tidak ada diantara kami  karena lagi kurang sehat di kosan. Dari sekolah kita berjalan beriringan. Kepala sekolah berada di baris paling depan, aku dan bak Sri di belakangnya diikuti guru yang lain di belakangku. Semua berjalan wajar-wajar saja, sampai di depan SDN Gayam 5 Toni bersama istrinya datang daro arah barat juga sedang pulang dari sekolah. Saat berada di samping pak Harto, tiba-tiba mereka berdua menendang pak arto yang sedang menyetir di depanku. Aku menjerit histeris melihat langsung kejadian itu, untungnya pak Harto masih bisa mengendalikan motornya walau sempat terseok-seok. Setelah melakukan aksi itu, mereka langsung tancap gas kabur.
“kenapa pak?” tanya pak Muhajir saat kami mengentikan motor.
‘Tidak apa-apa, tidak usah terpengaruh. Yang penting semua baik-baik saja” kata Pak Harto menenangka Pak Zainal yang endak mengejar Toni. Ketakutan dimulai lagi setela lebi dari 2 minggu tak ada kabar tentang Toni, kini dia mulai beraksi lagi. Terang-terangan menendang kepala sekola di keramaian. Tapi pak Harto tidak terpancing, dia meminta kita tetap tenang dan tidak perlu melawan. Kamipun mengikuti perintahnya dengan tetap tenang. Sampai di dekat kosan, terlihat kerumunan orang yang sedang ramai. Aku coba melihat apa yang sedang terjadi, ternyata pak Zainal sedang memukul Toni yang tergeletak dibawahnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kawanku memukul Toni tanpa ampun, lalu kembali ke arah motornya dan memacu kearah timur, Toni meringis kesakitan namun tetap berusaha mengejar Pak Zainal dengan motornya.
Aku yang melihat kejadian itu hanya bisa mengelus dada, tidak ada yang melerai insiden pemukulan itu. Mereka seperti tercengang saja melihatnya.
“kenapa tidak dilerai pak?”ujarku pada pak Kosim tetanggaku
“Pak Toni yang memulai duluan bu. Dia mencegat pak Zainal dari barat lalu memukulnya sekali. Pak Zainal lalu menangkis tangannya dan memukul balik” kata pak Kosim menjelaskan. Aku hanya mengangguk saja, dalam hati bersyukur bukan pak Zainal yang memulai. Selepas itu, pak Zainal langsung menuju kantor polisi dan melaporkan  kasus pemukulan yang dialaminya. Nah, jadi Pak Toni akhirnya membuat perjanjian hitam diatas putih yang salah satu pointnya juga menyatakan bahwa dia akan berhenti melakukan intimidasi dengan semua guru di kalowang V dan menganggap masalah mobiler selesai.
“begitu fren ceritanya” kataku mengakhiri cerita pada Nuno, Pak Sahrimo sang penjaga sekolahku ikut menyimak saat aku bercerita. 
“Ada lagi berita yang akan bikin kamu keget fren” kata Nuno 
“Apa?”
“Kemarin Toni ditangkap di Kalianget, kasus penadah mobil curian. Tapi dia berhasil kabur. Sekarang dia buron” jawabnya yang membuatku berbinar-binar.
“Serius ini? kok di kosan gak dengar ya ?” 
“Ya makanya jangan mendekam terus di kosan, gak tau kalau tetangganya dikepung polisi. Haha” tawa pak Harto lepas, seolah satu beban telah berhasil dilewati.
“Alhamdulillah, semoga kedepannya keadaan kembali stabil fren, kita bisa mengajar dengan tenang. Saatnya kita berbahagia, ya kan pak Harto?” tanya Nuno Pada Pak Harto, kepala sekolah kami. Pak Harto hanya tersenyum dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celananya.
“Jadi kami boleh pulang nanti malam pak?” Bak Sri yang sedari tadi duduk diatas motorku tiba-tiba meminta izin pulang 
“Ya pak, saya juga mau pulang. Mau menyegarkan fikiran” kataku tidak kalah dengan bak Sri.
“Saya dan Nuno juga pak” Muhajirpun ikut menimpali dengan tawa khasnya.
“Jadi kalian mau pulang rombongan gitu?” tanya Pak Harto masi dengan senyumnya.
“Ya Pak, sudah lebih sebulan kita tertahan disini dalam ketakutan. Saatnya kita pulang ya pak” kataku memohon.
“Jangan dikasih pak. Mereka masih janji mau bakar-bakar ikan di rumah” pak Zaifur ikutan nimbrung.
“Tenang saja pak, kami pulang hanya sebentar kok. Urusan bakar-bakar bisa setelah kami balik. Yang penting bukan bakar-bakar gedung sekolah kita yang baru. haha” akhirnya tawa kita lepas setelah sekian lama dicekam ketakutan.
Ayah, aku pulang....!

Seterusnya.. | komentar

Pemburu

Rabu, 09 Agustus 2017

Pentigraf Lilik Rosida Irmawati

Sam duduk termangu seraya menatap awan, pergantian musim hujan ke kemarau menyisakan gerombolan-gerombolan berserakan. Benar kata Ay, awan-awan yang menghitam dan penuh bobot air tidak akan menjadi hujan kalau tidak membentuk barisan saf yang rapat, tidak berjamaah. Begitu pula dengan hati, ketika tidak bisa menyatu dengan alam pikiran maka jangan harap akan menemukan hakekat hidup apalagi tuhan-Nya. Ay selalu benar, perempuan yang dinikahinya dua puluh tahun silam adalah cahaya hatinya meski seringkali Sam berbuat curang dan khianat hati Ay seluas samudra tak bertepi yang selalu membukakan pintu maaf.

Sam tercenung menatap awan pekat dan dalam bayangannya itu adalah tangan-tangan pemburu ganas. Sam tersenyum ketika kata pemburu melintas dibenaknya, memburu, pemburu dan mangsa buruan. Seperti tidak ada bedanya berburu di alam liar dan memburu perempuan sampai benar-benar takluk dan luluh tak berdaya. Puncak kepuasannya sama.

Tapi tidak semua perempuan bisa ditaklukkan, dari sepuluh istri sirri yang pernah dinikahinya dua diantaranya tak mudah ditaklukkan. Semakin sulit diraih semakin besar keinginan untuk memilikinya dan kemudian melepaskannya. Di kalangan koleganya Sam dikenal sebagai pemburu ulung dan dijuluki "Belut kecebur oli", benar_benar licin menutupi dan kamuflase semua affairnya dari mata Ay. Tapi semuanya tidak pernah akan sempurna karena ada titik balik dalam perburuannya. Sam jatuh cinta lagi tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan, janda cantik yang diburunya bukan hanya menolak mentah-mentah tetapi juga menguliti hatinya hingga bopeng-bopeng berdarah. Sam merasa menjadi binatang buruan penuh luka dan sorot kekalahan telak memancar ketika Wulan dengan tatapan lembut menolak cek yang disodorkan seraya berkata demikian santun, "Saya hanya membayangkan seandainya anda diberi anugerah kekayaan seperti Sulaiman kemungkinan anda lebih jumawa dari Qorun.'

Sumenep, 04.06.2016   
Seterusnya.. | komentar

Ning, Untukmu Harapan Esok

Minggu, 18 Juni 2017

Cerpen Ayis Bhirawa

Ilustrasi (lukisan Ardiansyah)
“Kau tak mengerti apapun !”

Tak ada jawaban. Lelaki itu hanya membisu.

“Kalau kau mencintaiku, bawa aku pergi dari tempat ini !”

Lelaki itu menatap perempuan cantik di sampingnya dan merengkuhnya. Kemudian mereka berciuman.  Saling melumat bibir. “Aku pasti akan membawamu pergi dari sini !” bisiknya.

Di luar, malam semakin larut. Jalanan mulai lengang. Angin yang berhembus terasa dingin mencucuk tulang. Namun tidak bagi penghuni kawasan lokalisasi itu. Setiap malam selalu hangat di bawah ketiak para lelaki hidung belang. Sesekali terdengar rintihan manja dari perempuan kamar sebelah. Lelaki dan perempuan cantik itu bercinta sampai pagi seperti yang dilakukan oleh kamar sebelah.

“Ning, tadi malam elo kan dapat tamu. Bayar dong hutang lo yang kemarin !”

Perempuan yang dipanggil Ning itu tak menyahut. Tangannya terus sibuk menjemur pakaian yang baru saja dicuci. “Ning elo denger kagak !”. Ning tetap diam. Perempuan itu mulai kesal. Entah kapan, tahu-tahu tangan perempuan itu sudah menjambak rambut Ning. Ning meronta-ronta kesakitan, berusaha melepaskan jambakan itu. Ember cuciannya  jatuh kena tendang.

“ lepasin dong, pasti gue bayar !”teriak Ning kesakitan.

“Enggak, lo harus bayar sekarang. Kalo kagak bayar.. !” ancam perempuan itu. Sementara itu tangannya semakin keras menarik rambut Ning. Ning menjerit kesakitan. Tidak ada jalan lain, akhirnya Ning menggigit tangan yang menjambak rambutnya. Setelah lepas, Ning membalas menjambak perempuan itu. Perempuan itu menjerit. Tangannya mengapai-gapai rambut Ning. Mereka saling menjambak rambut dan berteriak kesakitan.

Pergumulan itu mengundang perhatian orang-orang di sekelilingnya. Tetapi mereka tidak berusaha memisahkan keduanya. Mereka hanya menonton dan berteriak-teriak ngomporin saja.

“Ning hajar terus tuh perek !” ujar salah seorang mendukung Ning yang memang membenci perempuan itu. Ning tambah semangat setelah tahu ada yang mendukungnya. Tangan Ning terkepal dan meninju perut perempuan itu berkali- kali hingga perempuan itu jatuh terduduk.

“Hutang lo gue bayar besok !” ujar Ning dengan nafas tersengal-sengal. Perempuan itu terdiam. Tangannya memegangi perutnya yang sakit kena tinju. Untung gue pernah belajar silat dulu, bisik Ning dalam hati.

*************

Setelah pertengkaran itu, Ning kembali ke kamarnya. Di dalam kamar Ning menangis. Ning berpikir, kenapa nasibnya begitu buruk ?. Mungkin ibunya waktu melahirkan dirinya, terkena kutukan. Ah, pada saat ini, Ning merindukan orang yang dicintainya. Ning ingin sekali memeluk orang itu dan menciumi aroma tubuhnya yang khas. Tapi untuk bertemu dengan orang itu pun, Ning harus menunggu beberapa hari lagi. Menunggu istrinya ke luar kota untuk urusan bisnis.
Ya Tuhan, kenapa untuk soal cinta pun Kau juga lukai aku ?. Setelah Kau lukai aku dengan kenyataan bahwa ayahku yang menjualku ke tempat terkutuk ini ?. Setelah Kau lukai aku bahwa aku adalah pelacur ?. Setelah Kau lukai aku dengan mengambil ibuku, satu-satunya hartaku yang paling berharga ?. Apa salahku Tuhan ?. Mengapa Kau terus memberiku kemalangan ?. Bahkan untuk urusan sabun pun aku harus berhutang, padahal aku setiap malam terpaksa merelakan kehormatanku diinjak-injak para pria hidung belang.
Ning membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisan. Untuk mengurangi kesedihannya, Ning melamunkan kekasihnya. Melamunkan pertemuan pertama mereka. Melamunkan cinta mereka. Melamunkan alangkah indahnya bila Ning seperti perempuan lainnya. Mencintai, menikah dan melahirkan anak serta menjadi istri dan ibu yang baik. Dan Ning melamunkan andai saja ia dan pria yang sangat dicintainya itu bisa menikah. Meski menjadi istri kedua, biarlah, yang penting Ning bisa hidup bersamanya.
Terkadang Ning ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak, Ning tidak boleh mati. Ning harus tetap hidup. Setidaknya untuk meraih sedikit harapan Ning. Setidaknya untuk kekasih yang sangat dicintainya itu.

***************
    
“Ning !”. Terdengar ketukan di pintu. Ning membuka pintu dan terlihat olehnya sosok tubuh seorang pria. Ning mempersilahkannya masuk. Pria itu memeluk Ning dari belakang. Hidungnya menciumi rambut dan tengkuk Ning. Ning menolak ciuman itu dan melepaskan diri dari pelukan yang dirasanya semakin membuat dirinya terlena.
“Kenapa Ning ?” tanya pria itu heran.
“Jangan malam ini, kepalaku sakit !”ujar Ning sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba  terasa sakit. Pria itu duduk di tepi ranjang dan memandang Ning.
“Kemarilah”. Ning menurut dan duduk di samping pria itu.
“Apa yang terjadi, katakan padaku ?”tanya pria itu. Tangannya membelai rambut Ning dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Ning mencoba menentang tatapan mata pria itu, tapi tidak bisa. Ning merasa bukan hanya kepalanya saja yang sakit, tetapi juga hatinya. Ning merasa hatinya sakit sekali. Akhirnya Ning menangis sesegukan di pelukan pria itu. Ning merasa damai di sana. Pria itu semakin mempererat pelukannya.
“Cepat bawa aku. Aku sudah tidak tahan”, akhirnya Ning berkata. Pria itu terdiam dan melepaskan pelukannya. Ning terkejut. “Kenapa mas, apa ada masalah ?”.
“Aku sudah bercerai dengan istriku tiga hari yang lalu “
Mata Ning membelalak. Terkejut. “Apa karena aku ?”
“Bukan. Dia sudah tahu hubungan kita sejak lama, tapi dia diam saja. Dan dia pernah membicarakan padaku tentang kau. Dari ucapannya aku tahu kalau dia tidak bisa membencimu “
“Maafkan aku, mas !”. Ning merasa bersalah sebab bagaimanapun juga dialah penyebab perceraian pria itu dengan istrinya. Meski pria itu adalah orang yang sangat dicintainya. Ning tidak dapat hidup tanpanya.
“Bukan salahmu Ning. Di antara kami sejak lama sudah tidak ada lagi yang patut dipertahankan. Aku tahu, istriku tidak mencintai aku, tapi dia mencintai kekasihnya yang dulu sebelum kami menikah. Dan dia tetap berhubungan dengan kekasihnya itu. Begitu juga dengan aku. Aku mencintai kamu dan tetap berhubungan denganmu”.
Ning diam mendengar penjelasan pria itu. Ning sangsi, benarkah apa yang dikatakannya ?. Ning tetap merasa bersalah. Pria itu merengut melihat wajah Ning yang seakan tak percaya dengan penjelasannya.
“Ah Ning,  kau tak percaya padaku ?”
“Ya !” jawab Ning.
“Ning, aku tidak melepaskan istriku. Tapi kami yang saling melepaskan. Ini untuk menghindari kesalahan yang lebih besar lagi. Aku ingin istriku bahagia dengan orang yang dicintainya. Tapi aku juga ingin bahagia bersamamu. Boleh kan Ning ?”
Ning tetap diam. Membuat pria itu kesal dan gemas. Dipeluknya Ning dan menciumi wajah Ning bertubi-tubi. “Ning kalau kau masih tak percaya, besok pagi aku akan datang ke mamimu dan menebusmu. Terus besok lusa kita menikah di KUA !” bisiknya.
Ning terjingkat. “Benar, mas ?.
“Tentu saja !”jawab pria itu. tersenyum.
Mata Ning berkaca-kaca. Antara tak percaya dan bahagia. Dipeluknya pria itu mesra. “Terima kasih mas “.
“Bagaimana kalau kita ke luar malam ini. Kita bercinta malam ini bersama angin malam di luar” tawar pria itu. Ning mengangguk.
“Tentu saja. Kita rayakan kebahagiaan ini di luar !”

***************

 Malam itu merupakan malam yang terindah bagi Ning dan kekasihnya. Bulan bersinar penuh seakan mewakili hati mereka berdua. Angin bertiup sepoi-sepoi menyejukkan.
Setelah makan, mereka jalan-jalan keliling kota. Menikmati bulan, menikmati bintang, menikmati kota dan menikmati indahnya malam. Mereka merasa bebas kini, tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk menikmati cinta mereka. Gerbang kebahagiaan sudah ada di depan mata.
Ketika Ning dan kekasihnya berjalan di jalan yang sepi, mereka tidak tahu kalau ada sebuah mobil melaju kencang di belakang mereka. Pengemudi mobil itu adalah perempuan yang bertengkar dengan Ning tempo hari. Perempuan itu sangat benci dan dendam kepada Ning. Melihat Ning berjalan dengan kekasihnya, timbul pikiran jahat merasuki otaknya. Perempuan itu berniat menabrak Ning dan kekasihnya.
Perempuan itu menancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi. Dan …… Ning dan kekasihnya tidak perlu lagi menikah. Sebab Tuhan telah menikahkan mereka melalui tangan malaikat maut. Dan Tuhan menyatukan jiwa mereka, entah di surga ataupun di neraka. Hanya Tuhan yang tahu.
Sedang pengemudi itu tetap melaju kencang. Meninggalkan tubuh Ning dan kekasihnya bersimbah darah dan tergeletak di jalan yang sepi itu.

***************

   
 

Seterusnya.. | komentar
++++++

Solilokui

Sekilas Penyair

Marlena
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger