Tampilkan postingan dengan label Puisi Nok Ir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Nok Ir. Tampilkan semua postingan

Toeng Nairda : Pria Kecilku

Minggu, 22 Januari 2017

Raga dengan tatap sempurna
tinggi menjulang melebihiku
mendebarkan selalu seluruh jantungku
lewat tingkah melampaui kiraan
dari celoteh tak seumuran
khawatirku menderu
bisikmu saat itu
: bu, aku sudah besar
        bukan lagi kanak-kanak dulu

Toeng,
begitu ku menyebutku
selarik  kata seperti yang kau pinta
ku iyakan saja yang membuatmu bahagia
katamu suatu masa
: bu, aku ingin menjadi Toeng Nairda
       jika  besar nanti

Toeng,
menjadi siapa pun kau kelak
berbungkus gagah tubuh dewasa
sekuat jiwa penuh gelora
utuh sebagai mutiara pilihan
tetaplah seperti itu
akan selalu menjadi kanak-kanak bagi ibu
selalu kujerangkan doa
berukir kuasaNya


Nok Ir

Sumenep , 12 Oktober  2016


Seterusnya.. | komentar

Indah Memanterai

Selasa, 17 Januari 2017

Pagi
Dingin menggigilkan
Mencucuk-cucuk ke ruas iga
Membangunkan  hasratmu
Memuncak tiba- tiba
Memohon sambut senang

Gerak hentakmu menari - nari
Lincah merayap ke puncak
Gesit menyusuri tiap inci
Menguliti tubuhku per jengkal
Menelanjangiku tanpa penolakan

Senyum puasmu merekah
Menanda kemenangan
Telah mampu bertarung terang
Menanggalkan sipuku
Yang selalu ku emban
Dulu dan dulu

Pagi
Memanterai
Membuat malam- malam kami
Indah
Berulang- ulang

Sumenep, 27  April  2016


(Nok Ir)
Seterusnya.. | komentar

Hujan di Langit-Langit Rantauku

Senin, 12 Desember 2016

Hujan yang luruh di langit-langit rantauku
pembawa embun yang paling subuh
penanda rindu amat
lebat karena kekal di dalamnya
menggenangi rumpun-rumpun tautan seia jiwa
menangkaikan kembali timbunan atma hati
lunturkan seketika jejamur kerak sangka
timbulkan segera rela pengurai jeda

Hujan yang jatuh dilangit-langit rantauku
jatuh lebatnya tak hanya sekedar canda
sekelebatnya tak kuinginkan cepat reda
sesukanya ia menderas
mengucuri banyak jaring ragu
tersebab miringnya saling mengerti
hingga praduga melibas tuntas serasa
menguyupkan sepokok  batang curiga

Hujan yang berderai di langit-langit rantau kita
tak ingin kumenadahnya dengan berpayung belaka
akan kuhadang berkoloni dekapmu
bertelanjang raga dan rupa-rupa jiwa
tanggalkan sejumlah dunia benda
yang senantiasa menggelayut hanyut
membebani lisan riuh mendzikirkan pujian
menari bergelinjang kita di bawah guyur syukur
menyanyi bergelimang di kuyup-Nya

Sumenep, September 2016


Nok Ir


Seterusnya.. | komentar

Nak , Pulanglah Menuju Cahaya

Sabtu, 03 Desember 2016

Ingatan yang kukemas
terlipat kusut pada buntalan kenang
teremas-remas cemas dilintasan jaman
berupa nohtah kelabu menyapu
tak lagi kukenali larikan benang merah menyala-nyala
ataupun garis hubung yang kujadikan penyambung di tiap celahnya

Pernah kutawarkan senja bercat jingga
sempurna berikut goresan kata beraroma puspa
menukikkan sukaku, melesat puja haru
hasratku melambung setinggi-tingginya
kembang perdu itu turut berseteru
mengiyakan bahwa semua adalah indah maya
hingga malam rembang bergulir pelan
kelamlah yang memberitahukan
segala ungu adalah semu

Benar, lipatan kenang itu tentangmu
terkatung mengapung tanpa pijakan
tautan pun telah rekah, retak di sekujur sisinya
membentuk lubang, menganga nanar
sajikan lara, endapan dari masa ke masa
torehan kejam pada sebidang dada rentan

Kuputuskan, memetikan rupa-rupa maya
penabur remah tipu, berbunga candu rayu
tertatihku berbalik sigap
tampilkan kilas hangat merayap
tuntunan-Nyalah lembut menyentuh
bisikkan, semua adalah fatamorgana

Nak, pulanglah menuju cahaya

Sumenep, 21 Mei 2016

(Nok Ir)
Seterusnya.. | komentar

Kutemukan Kotamu Seperti Kedaimu Itu

Jumat, 02 Desember 2016

Kembali
melintas jalan-jalan
menyusur lorong-lorong
beberapa jenak di kotamu
menghidupkan lagi siluetmu
melenggang saling merapatkan ngan
dadaku menghangat serempak
pijar ini saling bertukar tatap
gelegak hasrat tak terkatakan

Lalu,
menyinggahi  tempat dulu bertemu
lewati trotoar abu-abu
sesaat kembali mengenangmu
pada senja di terminal berharap jumpa
rautmu berselang-seling meningkah imaji
mengarus bersama helaan nafas
terlebur dalam aliran darah
rindu ini meruah memenuhi ruang angkasa
inginku berputar kembali ke situ
ah,..
seperti,
romantisme tak berujung

Pulang,
melabuh rindu dikotamu
memungut cerita berdurasi cepat
menata ulang kolase yang berserak
menghimpun kembali dua rasa yang tak teruraikan
nyatanya semakin indah bertalamkan kerelaan
sendiri, tanpamu
beguni ,caraku mengingatmu
Adinda,
kutemukan kotaku seperti kedaimu itu
memang tak serupa
tak ada hamparan petak-petak kebun teh berpucuk baru
tanpa kepul harum kopi diseduh
tiada pula kudapan sepinggan terhidang menggairahkan
namun kurasakan di rengkuh
kau hadir memeluki kami
menyusup suluh sambil terang menegasi
aku dan dia tak sendiri berkenangan
ada banyak jiwa-jiwa lain yang serupa

Sumenep, Februari 2016


(Nok Ir)





Seterusnya.. | komentar

Selamat Malam Sang Penyair

( I )

Sang,
bersama musim
tergema melodis ritmis
hujanmu merinai perlahan
menjarum tajam
meniup wajah ayu
basahi kelopak mata haru
menggelapkan pelangi sesungging senyumku

Sang...
tergetarkankah sedikit batinmu
membaca lagi selukis warna senja
ketika kita bersalut gelora
janji jumpa di terminal biru
pada romansa remajaku
saat kulayangkan selarik kata
di selemabar itu
berpuluh tahun silam

: Selamat malam , sang penyair...

( II )

Sang,
sambutlah
kelam telah datang
bertandang pada kita
menyuguhkan upeti sejuta puisi
tersemat di masing-masing hati
mari, kemarila
kita melanglangi lagi bersama angan
di segugus mega-mega romansa
menyusup seru di bilahan rindu

tak lagikah kau ingat
katamu, seperti itulah atma
sarat renjana
menyisir rasa bertandan-tandan
memilin kelu segumpalan
mengucur peluh melandung utuh
bahkan memerah derai airmata
bukan sekedar tawa renyah
atau rekah gempita ria
tak juga cuma setaman bunga

katamu pula,
begitulah ia
mengajarkan kita
memeluki yang sejatinya

( III )

Sang,
musim telah menyingsing
meipat jarak, melangkahi waktu
hingar dan riuh menjadi satu
mayapada semakin mempesona
ketika rembulan menyunting matahari
berbekal untaian reranting gering
berupa ingatan meruncing

Nyatanya,
musim terlampaulekas bergulir
selagi masih kuisyaratkan benih
rembulan berharap cepat menuaipendar
matahari enggan lelah terpanggang
gerhana telah lebih dulu mengadu
saling menantang , menyabung keinginan
memilih reda sebagai sandarannya

Sang,
jumpa  itu berakhir jeda
membentang menciptakan luka
menyisakan nyeri sendiri
menyamarkan pikatan
hingga menjurang dalam
lalu,
seraut selasar mengikis sadarku satu persatu
senja-senja berubah beda
jingganya tak lagi bisahanya serupa  kunikmati
dipujamu hanya serupa desau mati
perihal rindupun telah menjadi tabu

( IV )

Sang,
tak ada lagi kita
kini telah berupa dua belah jiwa
hanya ada :
    beda
    culas
    lerai
    senyap
    dan sendiri

Sang,
kini panggung milikmu sejati
berkuasalah selapang impian
skenariokan seperti segala  keinginan
bentangkan layar sepenuh beberan
tak kan lagi ku turut membintangi
Sang,
tentang rindu itu
tak akan lagi kugenapkan
seperti rakitan awal
akan tetap terbiar dalam kenangan

Sumenep, April 2016


(Nok Ir)












Seterusnya.. | komentar

Surat Merah Jambu yang Ada Padamu

Romansa yang meluap
terlipat rapat di sepucuk surat merah jambu
terlayang ringan hingga ke pelukanmu
entah dengan getar seperti apa ia terkirim
untaian aksara sebagaimana dapat tertulis
seberdaya apa hingga bisa terada
melampaui batasku, membersit di raut wajah malu

Tak bisa kuingat
seperti apa rupa aksaranya
sejurus pikat mengurai di situ, seperti katanu
tersusun berderet puja raya
membenihkan sukma remaja, mengembang riang
selak panjang bertabur, derap langkah melayang
serasa memutiklagi beragam sulur-sulur hati
benih jelita yang pernah tertimpa luka
saat kuserukan suatu malam :
“ Selamat malam sang penyair...”

Mungkin telah kau lupa
semasa kita meremaja bersaam
menyimpan rona sendiri-sendiri, di dasar hati
saling melempar tanda, mengusikkan dada
riuh bertlu-talu, hasrat bisa bertemu
tiada daya tuk mewujudkannya
mengalir datar, sewajar perlintasan
menyambung sejenak, lalu hilang tanpaberkesudahan
ketika tanpa ucap sapa, kau berlalu mewariskan haru

Ini memang surat merah jambuku
selembar kertas yang terlepas semasa itu
tak ada apapun dikandungnya
ia tak membawa kabar gempita
tak mengungkap sejumlah tanda atma
tak kutemu pematik rindu yang kuisyaratkan
hanya berupa rangkaian kata, pembentuk kekal rasa

Selembar itu tak sampai merebak lama
kutemukan ia mengembara di bentang kenang
dengan rupa yang tak lagi kukenali
telah berkubang maki-maki
surat merah jambu itu
ya benar, itu dariku

Sumenep, 20 Agustus 2016


(Nok Ir)




Seterusnya.. | komentar
++++++

Solilokui

Sekilas Penyair

Marlena
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger