Tampilkan postingan dengan label Puisi Juwairiyah Mawardy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Juwairiyah Mawardy. Tampilkan semua postingan

Siapa yang Perduli?

Minggu, 22 Januari 2017

siapa yang perduli
kalau puisiku tak pernah dibaca para bidadari
siapa yang perduli
kalau sekdar berpuisi bisa ditangkap polisi
siapa yang perduli
seorang penyair tersenyum getir di balik jeruji
siapa yang perduli?
sekalipun setiap nurani berani korupsi
dan saat kejujuran lahir justru dianggap tragedi
ditangisi dan dipukuli lantaran memaksa tak mau sembunyi
dan kematiannya dianggap tradisi;
siapa yang perduli?

Maret 2013

Juwairiyah Mawardy
Seterusnya.. | komentar

Bobol

Selasa, 17 Januari 2017

akulah sungai yang kautinggalkan lantaran musim air
tak juga henti
menyalahkan alirku hanyalah kata lain
mencaci maki takdir
aku menerima sampah dan serapahmu
serta kesesakan yang menyertainya
sebagai bagian dari pengakuanku atas kelemahanku
maka, bobol aku ini
sebagai sungai yang tak lagi mempunyai bendung
lantaran cuaca tak mengerti
tak mampu mengartikan kekerabatan hujan
padaku, sungai yang kautinggalkan

2013

Seterusnya.. | komentar

Wajahmu Adalah Pintu

Minggu, 01 Januari 2017

pernah kubuka wajahmu sebagai pintu
berwarna biru, menjanjikan sesuatu
lantas kukunci; suatu kisah kasih merah muda
ada kamu ada aku ada kita
tapi dia datang mengetuk pintu yang sama
kunci kita hilang entah kemana

Kampung Pengukir,  2012

Juwairiyah Mawahdy
Seterusnya.. | komentar

Sajak dari Kampung

Rabu, 28 Desember 2016

Surabaya, seperti juga kampungku kini
Sang surya diburu pagi
Anak kecil bertopi, petani bertopi
Ibu bernyanyi tentang nasehat-nasehat Nabi
Bagi generasi yang terburu disengat matahari

Lihat, kendaraan seperti panah dilepas busur
Menabur diri di jalan beraspal ke alur-alur
Hidup yang bersulur-sulur

Di kampungku,
Orang-orang menabuh rebana
Seperti isyarat marabahaya
Bukan lagi serenade bagi gembira

Surabaya, 14 Oktoner 2009




(Juwairiyah M)
Seterusnya.. | komentar

Bumi Berkapur

Rabu, 21 Desember 2016

Pada bumiku yang berkapur, tak lagi kauderapkan karapan sapimu
Kau ingin menyutradarai kematian tradisi, juga kematianmu
Tetapi Tuhan menudingkan telunjukNya ke DiriNya sendiri
Bahwa kau tak pernah memiliki kuasa atas ajal

Ladang-ladang kita masih berhumus, bukankah pernah kaunyatakan
Yang terpenting adalah bibit, bibitmu seperti pulauku, bergaram,
Sungguh bergaram
Tapi kauingkari atas nama peradaban yang tak kunjung tiba

Kaunyatakan pulauku hanya sederet kampung yang begitu terbelakang
Tak kau percaya derap sapi-sapi mampu mengedepankan ketertinggalan

Kami tak lagi menyiksa sapi-sapi itu, dengan tusuk paku dan balsem
Dengan param dan garam, dengan geram dan seram
Kami mencintai keindahan seperti sebagaimana seharusnya keindahan

Dan sapi-sapi itu, mengibarkan bendera, meski ajalnya kaudaftarkan
Di pejagalan dan tangan kuasa tukang daging.

Pulau Garam, 16 November 2009

(Juwairiyah Mawardy)
Seterusnya.. | komentar

Aroma Rasa Keibuan

Senin, 12 Desember 2016

bukan lantaran kau menahan nafasmu antara hidup dan mati
di ruang bersalin yang mewah
dengan kamar mandi beraroma karbol
bukan lantaran kau mengerang menahan sakit dan jerit
di bawah panduan seorang bidan
bukan lantaran kau sedia menanggung berat badan
dalam waktu sembilan bulan sembilan hari
mengusung calon manusia baru yang akan disebut sebagai anakmu
bukan lantaran itu semua aroma rasa keibuan berada dalam hirup nafasmu
rasa keibuan tak diciptakan karena kehamilan
rasa keibuan tak dilahirkan karena jenis kelamin perempuan
rasa keibuan tak terlahir karena seorang hawa menjadi ibu
rasa keibuan berada dalam setiap desah nafasmu
lantaran dalam hatimu kasih sayang telah serupa karang
hanya lantaran itu


2013 


(Juwairiyah Mawardy)
Seterusnya.. | komentar

Cerita Tentang Sebuah Generasi

Sabtu, 03 Desember 2016

hari ini anakku mengajak ke swalayan
tempat diperdagangkan segala kenyamanan
dan kemudahan
tapi tak akan ia temukan sekumpulan semangat
untuk ia pamerkan pada teman-temannya sepermainan
hari ini anakku mengajak berwisata
ke candi dan lembah, ke danau dan laut
tapi tak akan ia temukan keindahan yang agung
yang ditorehkan pejuang bangsanya di masa silam
pada mata anakku telah disematkan
bayang-bayang kemegahan yang memanjakan
pada keningnya telah dilukiskan satu mimpi
tentang perjuangan yang terhenti
pada bibirnya telah dimantrakan
bahasa-bahasa yang bukan bahasa cinta
dalam mimpinya telah ditaburkan pelangi yang salah warna
pada cita-citanya telah dituliskan tentang kekuasaan
dan kemapanan
hari ini anakku mengajak ke sekolah
memperlihatkan padaku
ia tak lagi diajar untuk berhitung tentang nilai-nilai kemanusiaan
memperlihatkan padaku
ia tak lagi diajar untuk menyanyikan senandung indah negerinya
menampakkan padaku
ia tak lagi diajar untuk membahasakan kebersamaan
membuatku menggulirkan air mata kekalahan
terhadap generasi terbaru hari ini
yang sibuk berkutat dengan sumpah serapah dalam televisi       

Madura, Oktober  2016
Seterusnya.. | komentar

Ombak Hidup

Jumat, 02 Desember 2016

aku lahir dari rahim garam
bertemu asam yang dibawa angin
lalu kita mengaji tentang ayat-ayat yang berdebur
ini juga Kebesaran Tuhan
yang sering dilindapkan dari ingatan

menangis aku sampai terasa magis air mata
menemukan jawaban Tuhan
atas pertanyaan sepanjang hidup
perempuankah aku?
lengkap dengan goa untuk sang pertapa waktu
aku berdoa, meski lupa Kiblat entah dimana
dan aroma dupa terbawa entah ke mana;
hanya hati, hanya jiwa, hanya Tuhan, hanya aku
arah adalah sepenuhnya urusan matahari

kalau nanti ombak datang lagi
bermaksud bersenda gurau tentang tragedi
aku tak akan menyemburkan caci maki
atau penyesalan
karena ombak hanyalah sujud
mengikuti perintah Ilahi
sebagaimana malaikat diciptakan
untuk sepenuhnya memuji
sekalipun dengan hamburan jampi-jampi
agar hidup tak sepenuhnya mimpi

kalau penutup cerita adalah tertutupnya mata
maka Arjuna akan berhenti mencari cinta
karena Srikandi juga mati
dalam tusuk ombak berkepala Melati
akan mati jugakah aku sebagai cerita?
Tuhan menuliskan jawabanNya
pada daun-daun yang ditiup angin
kubaca nanti, kubaca nanti…

Madura, Agustus 2011  




(Juwaiiriyah Mawady)





Seterusnya.. | komentar

Cinta Dalam Sebuah Koper Tua

adat itu pengikat kekhidmatan, bukan lantaran kepatuhan
            kepada cinta yang merona
kalau pada akhirnya aku menutup koper itu
                bukan lantaran waktu telah tak bijaksana
                untuk terus menunggui cerita
berdesakan, sayang. kisah-kisah berikutnya hendak pula bersorak
memaksaku mengikhlaskan kenangan tentangmu
tak ada rasa sakit itu
tak juga ngilu
tak ada sedu-sedan
dan pada akhirnya aku pulang ke rumah adat, bukan lantaran tak mempercayaimu
                mampu menanti hingga kiamat tahun ini
episodemu terhenti terganti pelangi; bukankah engkau hujan?

Ruang Sunyi, 12 Juli 2012





(Juwairiyah Mawardy
Seterusnya.. | komentar

Pinangan Keseribu

di beranda, melongoklah aku ke seberang jalan
sebuah kereta kuda dihentikan waktu, tetapi bukan
Pangeran yang datang, melainkan sedu-sedan hujan
pemukiman ini telah ditengok  ribuan waktu
oleh peñata adat dan tatakrama
sengaja aku diam dari segala suara
lantaran gemuruh tak lagi kuasa memberontak masa

di ruang tamu, dialog kering diiringi musik dangdut yang merana
gelak tawa dan ramah tamah
seperti ijab qabul yang dipandu penghulu
aku tergugu memandang masa depan

langlangku yang tak terbilang
telah dipinang ke seribu kali
kali ini, tetap saja; diam tak berarti setuju

Karduluk, 2011


(Juwairiyah Mawardy)
Seterusnya.. | komentar
++++++

Solilokui

Sekilas Penyair

Marlena
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger