Home » » Dari Kodrat, Emansipasi dan Profesi

Dari Kodrat, Emansipasi dan Profesi

Perempuan eksikutif masa kini
oleh: Lilik Soebari          

Dalam kodratnya, perempuan adalah bagian terpenting sebagai pendamping kaum pria. Karena demikianlah Sunnatullah yang berlaku atas makhluk yang bernama manusia. Dengan penciptaan yang berbeda, itulah maka kesempurnaan hidup tercapai. Dengan mengedepankan perasaan yang dimiliki, perempuan menjadi sosok yang lembut, penuh cinta kasih, penuh dedikasi, penuh keikhlasan serta mempunyai jiwa pengorbanan sangat tinggi. Dalam arti sempit peranan perempuan hanya berkutat pada wilayah domestik, di samping hanya berperan dalam wilayah sempit, perempuan juga berperan sebagai jembatan sektor kehidupan, keseimbangan antara tugas dan kebutuhan.          

Dalam pengertian klasik dalam menunjang lingkungan tidak terlepas dari 2 peran, yaitu pertama, dalam peran keluarga (domestik), perempuan mempunyai andil besar. Di samping menjaga keutuhan rumah tangga, erat hubungannya dengan pembinaan generasi penerus, sesuai dengan kedudukan, tugas, kewajiban dan fungsinya. Sebagai anggota keluarga perempuan sebagai subyek sekaligus obyek. Perempuan mempunyai kemampuan dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana keluarga yang mengarah pada rumah tangga yang utuh bahagia dan sakinah.          

Yang kedua, sebagai anggota masyarakat peran perempuan menempati posisi sentral dan strategis dalam pengembangan lingkungan. Untuk itu kaum perempuan memiliki beban dan peran multi dimensi, aktif, dinamis dan kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai positif, sekaligus mengeliminasi (mengikis) nilai-nilai negatif di lingkungan masyarakat sekitarnya. Disinilah, perempuan mempunyai peran kuat dan luas mendukung terciptanya emansipasi.          

Emansipasi sendiri, menurut garis sejarah awalnya ditiupkan wanita Barat, yaitu suatu usaha kaum perempuan memerdekakan diri dari cengkeraman kekuasaan kaum laki-laki dengan tujuan untuk mendapatkan haknya sebagai makhluk sosial. Dalam sejarah kaum perempuan pada jaman jahilliyah, baik di Timur maupun di Barat, perempuan dijadikan budak, dipermainkan bahkan diperjualbelikan. Namun dalam satu sisi, pengertian emansipasi yang dirujukkan wanita sering diartikan tuntutan kaum perempuan untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan kaum pria dalam setiap aspek kehidupan. Penafsiran yang keliru inilah memungkinkan akan menjatuhkan  nilai dan martabat perempuan itu sendiri.          

Dalam Islam, kedudukan perempuan dengan jelas  ditegaskan dalam Al-Qur’an: bahwa orang-orang yang beriman, Lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. (Buka At-Taubat 71). Dengan demikian, jelas lah bila dikatakan perempuan Islam sebenarnya  lebih awal mengenal emansipasi. Sebab Islam sendiri memandang, bahwa esensi kemanusiaan perempuan adalah sama dan setaraf  dengan pria. Islam telah menentukan aturan-aturan kehidupan bagi pria dan perempuan secara jelas sesuai dengan tabiat, naluri  ataupun kodratnya. Demikian juga hak-hak perempuan setara dengan pria, kecuali dalam prinsip tertentu, yaitu dalam alasan yang cukup kuat diterima oleh syara’.          

Keterlanjuran  kesalahan Penafsiran pemahaman emansipasi dalam pertumbuhan  pola hidup dan kehidupan perempuan selama ini, justru akan menghilangkan makna peran perempuan itu sendiri. Sebagaimana diketahui dengan gencarnya “teriakan emansipasi” yang ditiupkan negara Barat amat besar pengaruhnya  terhadap perilaku kaum perempuan, khususnya  dengan masuknya arus globalisasi sekarang ini.          

Di dalam era industrialisasi yang digencarkan saat ini peran perempuan  tidak terbatas lagi dalam wilayah birokrasi, akademisi, sosial, politik bahkan keterlibatannya mulai merambah ke bidang lain yang lebih dinamis, menentang dan sensetif-ekonomi bisnis. Motif “profil oriented” perempuan  cenderung melepaskan dimensi kewanitaannya, yang konon, sebagai identitas dan citra diri. Bahkan pengertian “Wanita karier”  atau “wanita profesi” hampir melebihi ambang batas dan rancu. Dari sinilah kondisi dan peran perempuan kerap keluar dari riil dan tapal batas kawasannya, sehingga kerap menjadi sumber lahirnya berasumsi negatif, konsumtif dan destruktif. Bila hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan, akan lahir sebuah generasi yang mengarah pada dekadensi moral.          

Dalam paruh abad kedua puluh, peran kaum perempuan mengalami ekspansi dan transformasi besar-besaran.  Kaum perempuan terjun dalam seluruh lapangan kerja kantoran dan profesional, ilmu teknik, bisnis besar, bahkan politik. Peran dalam bidang politik telah menghantarkan perempuan menduduki jabatan puncak sebagai Kepala Negara. Di samping itu jabatan publik yang sangat strategis  telah mampu di raih oleh kaum perempuan. Sifat dan ragam partisipasi  mereka dalam ekonomi, dalam kehidupan politik, dan dalam kebudayaan yang tampak dan dominan sangatlah kompleks.          

Jumlah perempuan, plus partisipasi perempuan dalam angkatan kerja  dan kebutuhan ekonomi menghasilkan pendapatan besar, terutama di kelas menengah. Dengan demikian persaingan dan kompetensi dalam meraih lahan pekerjaan semakin seimbang antara perempuan dan kaum pria. Hal itu disebabkan karena akses pendidikan kaum perempuan melahirkan perubahan radikal dalam jumlah karyawan perempuan semakin besar. Masuknya kaum perempuan terdidik ke dalam angkatan kerja  hampir sepenuhnya menyebabkan peningkatan itu. Sebagian besar dari mereka di jumpai dalam lapangan kerja profesional, teknik dan keilmuan. Mengajar dan pekerjaan medis merupakan pekerjaan yang mengalami pertumbuhan paling cepat, dan pekerjaan kantoran dan pegawai negeri juga mengalami perkembangan yang signifikan. Kaum perempuan benar-benar terjun ke dalam semua profesi, terutama ilmu teknik, politik, pertanian, kedokteran, hukum, jurnalisme, film, bisnis, radio, dan televisi (radio dan televisi lapangan kerja yang telah membuat kaum perempuan menjadi terkenal dan termasyhur).
           
Penutup
           
Bendera  persamaan yang dikibarkan kaum feminis perempuan telah mendapatkan tempat  di hati perempuan Indonesia. Walaupun tidak dapat dipungkiri, gerakan tersebut bersinggungan dan terkontaminasi oleh gerakan feminis Barat yang lebih menekankan persamaan dan kebebasan yang sama, tanpa mematuhi rambu-rambu agama. Kaum feminis Barat membuat mitos-mitos dan mendorong kaum perempuan memburu kemandirian dengan menghalalkan segala cara, sekalipun cara itu mengabaikan kodrat alam.
           
Hal tersebut diperparah oleh  hadirnya media massa, baik cetak maupun elektronika. Media massa telah meracuni pikiran kaum perempuan dengan berbagai tayangan yang tidak mendidik, mengumbar sensualitas, eksploitasi  kecantikan lahiriah dan segudang cerita yang menjauhkan pikiran menggunakan penalaran dan logika serta ambang batas moralitas.  Namun penjajahan budaya yang setiap detik hadir di depan mata melalui layar kaca tersebut belum mampu membentuk sebuah kesadaran, karena banyak dari kaum perempuan telah tercerabut dari akar budayanya sendiri.
           
Wanita adalah tiang negara. Kualitas sebuah generasi tergantung kepada keberadaan dan kiprah perempuan. sangatlah menarik apa yang dikatakan oleh Ustadz Yoyok Yusroh, seorang pendidik sekaligus pendakwah, tentang fenomena perempuan Indonesia. Beliau mengatakan bahwa saat ini budaya menonton sudah sangat kuat di kalangan perempuan Indonesia. Padahal, suatu bangsa tidak akan cerdas  dengan budaya menonton, tapi budaya membacalah yang mencerdaskan suatu bangsa, dan mampu mengantarkan bangsa itu meraih prestasi dan membangun peradaban tinggi.
           
Tugas berat inilah yang kini diemban oleh Pemerintah Daerah di tengah amuk budaya global, dan tentunya menjadi tugas utama untuk mencerdaskan kaum perempuan. Penguasaan ilmu pengetahuan, keluasan wawasan serta pembekalan berbagai disiplin ilmu akan membantu kaum perempuan dalam mentransferkan ilmu kepada putra-putrinya. Karena kaum perempuan (ibu) menjadi orang pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, yaitu dengan memantapkan iman di dalam benaknya sekaligus membina sektor akhlak, menanamkan nilai-nilai moral, budi pekerti luhur serta menanamkan sikap hidup hemat, disiplin, tekun dan tertib.
           
Di tengah jaman yang memuja hedoisme, tak salah kiranya kaum perempuan masa kini kembali bangkit dan menemukan jati diri yang sebenarnya. Yaitu dengan jalan memperluas wawasan dan cakrawala berfikir, membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu, dan tidak pernah berhenti mencari dan membekali diri, tanpa harus menjadi tumbal budaya global di tengah arus modernisasi. Dengan demikian sosok perempuan (Ibu), selamanya akan menjadi pahlawan bagi anak-anak bangsa, sebagaimana kutipan bait puisi dibawah ini :

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya
Tentang pahlawan
Namamu, ibu yang kan kusebut
Paling dahulu
                                           (dikutip dari puisi “Ibu”, D. Zawawi Imron)


Daftar Pustaka:
  1.     Journal Perempuan Bersikap pada Pemilu. Rio Ismail, dkk. Solidaritas Perempuan.  Jakarta, 2004
  2.     Matinya Perempuan. Asghar Ali Engineer. IRCiSoD. Yogjakarta, 2003
  3.     Ensiklopedi Wanita Muslimah. Haya binti Mubarok Al-Barik. Darul Falah, 1421 H, Jakarta
  4.     Wanita, Gender dalam Islam. Leila Akhmad. Lentera, Jakarta, 2000
  5.     Artikel “Budaya Menonton dan Membaca”, Yoyok Yusroh. Kompas, 2001
  6.     Journal 1 abad Kartini. Titi Said, dkk. Jakarta, 2000


sebelumnya; Perjalanan Panjang,Kaum Perempuan Dari Masa Ke Masa
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger